Pilkada dan Sukuisme

Editor: Redaksi
Penulis: Dr Saiful Bahri Ruray, SH. Msi
Menjelang pilkada serentak sebagai sebuah proses suksesi kepemimpinan di berbagai daerah, seyogyanya berlangsung demokratis dalam makna yang sesungguhnya. Negara sengaja menciptakan sistem dengan sebaik- baiknya untuk hal tersebut. Agar bangsa ini terhindar dari oligarki, nepotisme, sentralisasi kekuasaan, yang bermuara pada tujuan akhir bernegara yakni menciptakan kesejahteraan sosial bagi segenap warga bangsa. Karena
Indonesia sebagai negara bangsa, dibangun diatas pluralisme  sosial 1.400 suku yang tersebar pada 17.450 pulau dari Merauke di  ujung paling timur hingga Sabang di ujung terbarat. Jika sistem suksesi dalam negara super plural ini tidak dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin, Indonesia akan menjadi negara gagal. Daren Acemoglu dan James A.Robinson membahas mengapa negara itu gagal, karena kebijakan yang tidak inklusif.

Nah, pilkada seharusnya bukan sebuah ekslusivisme untuk lalangan elit semata, namun ia adalah ruang inklusif dimana partisipasi publik terbuka lebar tanpa ancaman anarkisme, sukuisme dan embel-embel money politics. Sebagai sebuah proses demokrasi, tercederai jika tidak dibarengi dengan isyu-isyu yang kualitatif dan kontrstruktif untuk membangun sistem yang sehat bagi kelangsungan dan masa depan demokrasi itu sendiri. Sebalik, sosiolog Vedy R.Hadiz, mengatakan bahwa demokrasi kita masih sakit karena fenomena oligarki yang menguat. Oligarki ini turut membonceng keterbukaan sejak bergulirnya reformasi 20 tahun terakhir di Indonesia. Hal ini tentu menandai bahwa elit yang siap bertarung, masih kekurangan amunisi tentang gagasan maknawi sebenarnya dari demokrasi itu sendiri. Dan yang terjadi adalah pengelompokan sosial yang dibentuk berbasis sukuisme, dan kelompok pemodal yang kian bebas bermain dibelakang suksesi tersebut.

Artinya proses pelibatan publik secara egaliter belum berlangsung dengan sehat, terbuka, sebagai suatu tuntutan bagi membaiknya kualitas demokrasi kita.

Padahal persoalan kebangsaan kita berkembang semakin komplikatif, ada proses perekrutan elite yang belum berjalan sebagaimana mestinya. Dimana partai politik masih mengandalkan sentralisasi kekuasaannya, dan oligarki juga melanda pada partai-partai politik. Dengan kata lain, pendidikan politik belum berjalan seiring dengan kebebasan politik dan demokrasi dalam kurun waktu 20 tahun reformasi Indonesia. Sementara kita sadari bahwa partai politik adalah instrumen utama dalam berdemokrasi, karena disitulah pendidikan politik di letakkan, pemahaman atas ideologi diajarkan, dan tujuan berpolitik dan bernegara ditetapkan. Setiap partai tentu harus memiliki ideologi, tujuan, struktur, dan program sebagai suatu cetak biru (blue print) pembangunan politik kebangsaan yang sedianya akan ditawarkan kepada khalayak rakyat agar rakyat dalam berpartisipasi pun, bebas memilih sesuai dengan kehendak hati dan pikirannya. Rakyat tidak digerakkan karena alasan-alasan money politics yang disebar para cukong politik dan para broker atau tim sukses yang bermain dibelakang panggung.

Tokoh reformasi seperti Amien Rais, dalam sebuah wawancara, turut menyesalkan karena tidak memprediksi fenomena money politics yang akan terjadi seiring reformasi. Karena hal itu akan menjadi kanker politik yang merusak demokrasi yang dicitakan. Burhanudin Muhtadi dalam disertasinya di Australia, berjudul "Vote Buying in Indonesia, The Mechanics of Electoral Bribery" menguliti praktek-praktek kotor dan menyimpang dalam proses suksesi politik di Indonesia dengan telanjangnya. Sementara pada sisi lain, kita mengagungkan diri sebagai bangsa yang relijius dan berpancasila, dimana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Disusul sila kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab..pertanyaannya adalah ideologi negara sedemikian sakral, ternyata tidak dibarengi tindakan politik yang bermakna sama dengan substansi ideologi tersebut. Akankah elite baru nanti adalah produk dari relijiusitas dan beradabnya bangsa kota sesuai ideologi yang kita anut? Lihatlah pengelompokan politik menjelang pilkada, masih mengandalkan pola yang primitif, dengan mengedepankan sukuisme. Hal ini bertolak belakang dengan realitas Indonesia sebagai "nation state." Ben Anderson menulis negara bangsa itu adalah "the imagined communities" masyarakat yang terbayangkan. Karena pendiri bangsa itu, membayangkan pluralisme yang menyatu sebagai sebuah kesatuan untuk membentuk sebuah bangsa. Dengan kata lain, isyu sukuisme, kampungisme, dan apapun yang sejenis dalam proses pilkada, pada dasarnya adalah pengkhiatanan terhadap "imagined community" sebuah bangsa. Dan itu merusak jati diri keindonesiaan kita tanpa disadari.

Persoalannya kenapa itu terjadi, jawaban simpelnya adalah karena elite kita miskin gagasan kualitatif dan konstruktif untuk dijadikan jualan dan menu sehat kepada khalayak. Artinya mereka gagal mendidik komunitasnya sendiri. Itulah yang disebut cendikiawan Vedy R.Hadiz, sosiolog Indonesia yang mengajar di Australia itu sebagai demokrasi yang sakit.

Berdemokrasi tanpa belajar, memang hanya menghasilkan predator-predator bagi sistem bernegara.

Tentu saja kita semua, yang masih berakal sehat, berharap pilkada serentak 2020, akan lebih baik membawa negeri ini ke arah demokrasi yang benar dan sehat, bukan sebaliknya. Karena elite yang dilahirkan karena proses yang cacat, tentu saja tidaklah bisa diharapkan memperbaiki keterpurukan. Semoga 20 tahun reformasi menjadi waktu yang lebih dari cukup bagi kita untuk berubah. Tiada sesuatupun yang abadi terkecuali perubahan itu sendiri. Pancta rhei, semua mengalir, kata Heraklitos

(Kafe Jarod, 22 September 2019).

Penulis: Dr Saiful Bahri Ruray, SH. Msi
Share:
Komentar

Terbaru