Harian Semangat Alam Pikiran Jurnalistik Saya

Editor: Redaksi
Pinto Janir
Saya tarik nafas dalam-dalam. Saya hembuskan ia dalam angan pelan. Biar kenangan menajam terpikir, saya pejamkan mata lahir. Biar kenangan mengkilap seindah kain satin, saya buka segala mata bathin. Ini hari, saya sedang menyeret waktu untuk bertandang ke belakang di ruang tahun 1982 di jalan Imam Bonjol nomor 50 Padang.

Berada di ruang waktu berpuluh tahun silam, isapan rokok saya makin panjang saja. Asapnya saya kepulkan bersama panasnya hawa Padang. Di ruang “mata usang”  sudah terpampang bentuk kantor Harian Semangat yang hingga kini tak hilang-hilang dalam kenang.

Harian Semangat menjadi awal perjalanan kehidupan saya menjadi seorang wartawan, menjadi seorang pengarang, menjadi seorang penyair, menjadi seorang pencipta lagu dan menjadi seorang penyanyi.

Hidup di Harian Semangat adalah penghidup hari-hari saya yang indah pengisi masa remaja. Harian Semangat adalah spirit hidup yang mengajari dan melatih saya menjadi seorang “petarung” dalam dunia pikiran dan dunia kreativitas. Ia–Harian Semangat itu  dan segala isinya—adalah ‘guru’ saya !

Saya isap rokok saya dalam-dalam benar , saya biarkan saja asapnya  benar-benar keluar apa adanya…

Mengundang atau mengingat-ingat apa yang terjadi dalam waktu berpuluh-puluh tahun belakang, bukanlah pekerjaan gampang. Apalagi kalau ia tak tercatat dalam pikiran dan tak singgah pula dalam hati, apa yang terjadi menjadi sampah.Sulit mengingatnya itu !

Tapi, mengingat Semangat bagi saya apakah sulit? Taklah. Harian Semangat itu bagaikan kekasih dalam pikiran saya. Kalau tidak percaya, mari baca “kisah cinta” saya dengan Harian Semangat.

Ketika datang ke Harian Semangat, saya masih anak bawang. Masih kalene kaciak. Waktu itu saya baru saja tamat dari SD 73 Alai Gunungpangilun. Tahunnya, tahun 1982.

Sejak kecil saya memang sudah ranyang duluan. Saya sudah diajar mengenal dunia kreativitas oleh mamak-mamak saya ketika saya masih sekolah  di TK Bhayangkari Alai .

Di Minangkabau, Mamak selapau dengan kemenakan itu tabu mah. Tapi mamak saya yang satu ini acap membawa saya ke lapau. Musril namanya.  Karena mamak saya orang bagak di Simpang Alai, apapun yang ia lakukan ya suka-suka dia saja tampaknya. Saya tidak pernah mendengar ada orang yang mengeras ke mamak saya itu. Nah, kalau dia sudah membawa saya ke lapau,  dia rapatkan dua meja, dia suruh orang lapau memutar lagu.

“Apa lagunya Da?” tanya orang lapau ke mamak saya.

“Pipa bululah tu ha, bia gak kareh stek”, jawab mamak saya. Agak gadang umur saya sedikit baru saya tahu, judul lagu itu bukan Pipa Bulula.Tapi, Be bop a lula.Penyanyinya Elvis Presley.

“Ang kareh an stek bunyi tip tu lah”, perintah Mamak saya ke orang lapau. Begitu bunyi tip menyala, sang Mamak menyuruh saya naik ke atas meja. Apa juga lagi. Saya dinaikkannnya ke atas. Berjoget lah saya di depan pengunjung lapau itu. Itulah cara mamak saya mengajarkan dan mencarikan panggung untuk saya. Mamak yang mengasah mental  saya. Bergaduh saya dengan kawan sesama besar, diperduakannya saya. Kalau terdengar oleh mamak saya berbayar hutang. Tak dapat diagak. Diadunya saya satu lawan satu. Rasai…Tentu saja menanglah saya.Karena dari ketek-ketek, Mamak sudah mendampingi saya untuk belajar silek.

Mental dan percaya diri yang diajarkan mamak sejak dini kepada saya inilah yang menjadi modal saya mendatangi Harian Semangat.

Ya, waktu SD saya memang sudah suka mengarang. Kalau orang menulis panjangnya hanya sampai seperempat halaman buku letjes, bagi saya bisa penuh satu satangah halaman.

Di Alai itu ada namanya Pak Muntasir. Beliau kawan main catur papa saya. Pak Muntasir ini kemana-mana menyandang kamera. Ia wartawan Harian Semangat, belakangan hari saya tahu, ia pegawai Deppen. Setiap pejabat datang ke Alai dan tiap ada acara, Pak Muntasir sibuk memoto-moto orang.

Kalau acara selesai, yang disongsong pejabat itu bukan pemuka masyarakat Alai, tapi Pak Muntasir. Akrab mereka bersalam-salaman. Nyaris tiap kejadian, atau apapun peristiwa sosial, Pak Muntasir menjadi tempat bertanya orang sekampung. Begitu kharismatiknya seorang wartawan rupanya.

Suatu kali ada berita Pak Muntasir yang kurang sesuai dengan pikiran saya waktu kecil. Saya membaca Harian Semangat itu di Kantor Lurah Alai . Selain punya bengkel konstruksi besi, papa saya juga lurah.

Kalau saya jadi wartawan, berita saya mungkin akan lain. Begitu pikiran “kegadang-gadangan” saya waktu kecil. Ketika itu, saya baru saja tamat SD, baru masuk beberapa bulan di SMP Negeri 5 Padang. Kebetulan, ada pertandingan tenis meja antar RT di Gunuangpangilun.

Sungguh.Saat itu saya belum tahu sedikitpun tentang pola berita. Namun saya sudah suka baca-baca  berita. Terutama berita olahraga. Karena saya juga pemain bola. Usia usia segitu saya sedang tenar-tenarnya main bola di Alai dan di Gunuangpangilun. Pernah juga saya ikut seleksi PSP Yunior.Masih ingat saya, pelatihnya Pak RE Arlis.

Saya suka olahraga, suka pula membaca berita olahraga.

Maka pergilah saya ke tempat orang bertanding main pingpong itu. Saya tanya ke panitia nan uda-uda saya juga, berapa jumlah orang yang ikut bertanding. Sampai bila pertandingan ini berlangsung. Apa hadiahnya. Dalam rangka apa ini? Itu saya tanya dan saya catat sendiri. Pertanyaan saya muncul dari keingintahuan natural saja.

Saya tulis dengan tangan di rumah. Setelah itu, saya ke kantor Lurah. Saya pinjam mesin ketik nan gadang itu untuk menulis berita. Belakangan saya sering dibantu staf Lurah, Uda Murdiman namanya untuk mengetikkan berita. Saya memanggilnya Da Mang.

Berita selesai. Pulang dari sekolah di SMP Negeri 5 Padang, saya langsung ajak kawan namanya Edwar. Jarak umur saya dengan Uwar ada 3 tahun gadangnya Uwar. Tapi saya bersebut nama saja ke dia.

Sejak SD saya memang sudah agak madar-madar juga seangin.Sudah sering berhonda-honda kemana-mana. Bahkan kelas satu SMP saya sudah pandai melarikan Honda sampai ke Pekanbaru.  Nyaris,orang sekampung menggelari saya setan jalanan. Suka ngebut.Belanggar saja sering saya itu. Hampir mati, juga pernah beberapa kali.

Maka pakai motorlah  saya boncengi Uwar ke Harian Semangat.

Baru ke tiba saya di Harian Semangat, mencogok bapak-bapak yang badannya tinggi berdegap. Saya sapa.Saya salami.

“Ada apa?” Tanya Bapak itu kepada saya.
Saya langsung menjawab: “ Saya mau jadi wartawan, Pak !”
“Ha, tolong dulu balikan ambo rokok gudang garam merah sebungkus”, kata Bapak berdegap itu.

Awak ka jadi wartawan, eee kok disuruah pai bali rokok? Baitu saya berpikir. Apa saya masih terlalu ngenek untuk jadi wartawan? Hampir saja saya beranjak dari tempat itu.

“Awak ka jadi wartawan Pak, indak pai bali rokok doh”
“ Tolong belikan dulu, nanti kita bicara di dalam ruang ambo”, kata Bapak itu dalam suara agak ditekan nadanya. Baru saya bergegas membeli rokok di sebuah kadai sebelah kanan depan Kantor Semangat.

Rokok saya serahkan. Belakangan baru saya tahu. Nama beliau Pak MS Sukma Djaya. Pemimpin Redaksi di harian Semangat masa itu. Lalu ada masuk ke ruang itu bapak-bapak satu lagi. Saya ketahui namanya Pak Zakaria Yamin. Orang memanggilnya Pak Jek.Saya salami langsung Pak Jek.

Nan saya belum juga disapa-sapa oleh Pak MS Sukma Djaja. Beliau masih asik juga baru mengamat-ngamati naskah berita. Saya masih ingat cara beliau merokok. Menghirup. Dan menyelipkan rokok di bibir kanannya.

“Pak, ambo ka jadi wartawan Pak” saya membuka kata. Pak Sukma menjawabnya dengan mematut saya.
“Pak….”, sekarang nada tekanan saya agak ke dalam, “ambo ingin malamar jadi wartawan Pak. Iko ijasah ambo”.

Baru Pak Sukma memandang saya dengan agak serius. Iya amati ijazah SD saya itu.
“Hebat kamu ya !” itu kata pertama dari Pak Sukma di ruang tersebut pada saya. “ Lima angka 9, empat buah nilai 8,Tujuh puluh tujuh jumlahnya. Iyo hebat kamu!”.

Pak Sukma mengamat-ngamati ijasah SD saya itu dengan seksama. “Jadi nama kamu Friheddapinta?” katanya sambil mengangguk-angguk, “panggilannyo sia ?”

“Pinto Pak”, jawab saya seraya menyerahkan selembar kertas berita pertandingan tenis meja di Gunungpangilun, “Iko berita ambo Pak !”

Dibacanyalah berita saya oleh Pak Sukma. Beliau mengangguk-angguk. Waktu itu masuk salah seorang perempuan, tapi saya lupa namanya. Pak Sukma meminta kepada perempuan (mungkin wartawati Semangat) itu untuk menghimbaukan Pak Roesli Sjaridin redaktur olahraga yang kerap dipanggil Pak Suli.

“Pak Suli, anak ini mau jadi wartawan katanya. Ini beritanya!” Pak Sukma menyerahkan naskah berita saya itu ke Pak Suli. Lama pula Pak Suli mematut berita itu.

“Nama aslinya kok payah benar lidah menyebutnya”, ujar Pak Suli membaca nama “Friheddapinta” di bawah berita tersebut.

“Panggilan kamu siapa?” tanya Pak Suli. Saya jawab, “ Pinto “.
Lalu, “ Nama orangtua?” tanya Pak Suli lagi. “Janir”, jawab saya pula.

Pak Suli mengangguk-angguk, sementara Pak Sukma sudah duduk kembali di balik meja kerjanya. Gagah benar bapak itu di mata saya. Sambil memeriksa berita, rokok terselip rancak di ujung bibirnya.

Sedang asik-asik mengamati Pak Sukma, Pak Suli bicara memotong lamunan saya.

“Ha, begini saja, mulai kini nama kamu Pinto Janir bukan Friheddapinta. Disingkat PJ”, ujar Pak Suli berlalu sambil membawa berita saya tadi.

Besoknya, berita itu benar-benar terbit di halaman olahraga. Saya kundang-kundang terus kemana-mana berita pertama saya itu. Saya pelanggakkan ke orang sekampung, bahwa saya jadi ‘wartawan’ juga akhirnya.

Nama Pinto Janir itu lahir dari ruangan Pak Sukma di Harian Semangat.

Di mana-mana sampai kini nama populer saya Pinto Janir. Itu pemberian Pak Suli (alm). Sejak SMP (saya sekolah di SMP negeri 5 Padang) hingga SMA (di SMA 3 Padang), sambil sekolah saya terus menulis berita di harian Semangat dan terus mendapat jabatan sebagai pemimpin redaksi di mading sekolah, baik di SMP negeri 5, maupun di SMA negeri 3 Padang. Bahkan, dari honor menulis itu, saya agak kurang meminta jajan pada orangtua.

Berita-berita yang paling berkesan selama saya di Harian Semangat adalah ketika saya menulis tentang Greenpeace. Tentang ancaman lingkungan.Tentang akan melelehnya es di kutub dan menenggelamkan beberapa pulau-pulau.

Saya mengawali menulis dari berita.Bukan puisi. Awal berita saya itu, berita olahraga.

Harian Semangat adalah harian yang sangat berkesan dalam perjalanan hidup saya berjunalistik.

Ada Bang Gatot. Rupanya Bang Gatot kawan mamak saya masa di SMA 2 Padang. Nama mamak saya, Muzirwan. Nuzirwan adalah mamak yang membelikan saya mesin ketik yang lebih mendukung saya ke dunia pendidikan dan seni.  Musril adalah mamak yang mengajarkan saya “bernyali” yang ngamuk kalau mendengar saya dipertigakan oleh orang.

Bang Gatot orangnya tenang. Berwibawa di mata saya. Kalau kita mau menyerahkan berita, cukup taruh saja berita itu di keranjang petak dari plastik di meja redaktur. Dengan Bang Gatot, saya hanya sekali-sekali bicara.

Ada seorang Redaktur yang sangat berkesan sekali di mata saya. Lain tenangnya. Tampaknya banyak orang segan kepadanya. Tak banyak mangecek dianya.

Kalau awak menyapa,“ Da….” ia hanya membalas dengan mengangguk sekali lurus saja, “Yop”. Namanya Uda Zulnadi.

Berita saya masa di Harian Semangat masih berita anak bawang. Masih seputar apa yang terjadi di kampung dan apa kegiatan Osis di sekolah. Baik di SMP Negeri 5 Padang maupun SMA Negeri 3 Padang.

Wajar saja bila saya ngetop di kalangan guru-guru SMP 5 dan bahkan Pak Dahlan Rivai, sang Kepsek “sayang” pada saya.

Suatu hari di SMA 3 Padang ada kejadian yang luar biasa. Siswanya diskor lantaran pergi hiking tanpa izin pihak sekolah. Kepala sekolahnya waktu itu Pak Sjamsoeddin Djamil. Pak Sjam ini sangat perhatian pula pada saya. Kami sering bercakap-cakap kalau guru sedang berhalangan masuk ke kelas saya. Biasanya, habis bercakap-cakap itu, buku Pak Sjam saya semba satu. Beliau tak pernah berkata tidak ketika saya meminta buku koleksi di ruang kerjanya.

Sekedar diskors, mungkin masih biasa. Tapi, ketika Pak Sjam mengeluarkan kebijaksanaan, siswa yang pergi hiking tersebut tak boleh masuk sekolah sebelum ada surat “keperawanan” dari pihak terkait. Hebohlah  walimurid nan anaknya pergi hiking itu menanggapi kebijaksanaan sang kepsek.

Sebelum saya jadikan berita, saya temui Pak Sjam. “ Pak, bagusnya keputusan Bapak itu, ditiadakan. Heboh orang nantik Pak”, ujar saya. Tapi Pak Sjam bersikeras dengan keputusannya. Besoknya saya hubungi lagi.Saya minta Pak Sjam sebaiknya tak usah berkeputusan begitu. Jawaban beliau tetap sama. Besoknya, saya temui lagi.Pembicaraan sama. Jawaban Pak Sjam juga sama.

Baru saya katakan begini: “ Pak, berpikirlah dulu Pak sebelum saya menuliskan peristiwa ini jadi berita”. Pak Sjam bersikeras: “Tulis saja!”. Saya menjawab: “Jangan Pak. Kalau peristiwa sudah jadi berita, ia menjadi milik publik. Susah kita mengendalikan opini nantik Pak” . Pak Sjam tetap bersikeras. Akhirnya saya putuskan: “Baiklah Pak, kalau apak masih tetap kukuh, ini saya angkat jadi berita”. Jawab pak Sjam: “Beritakan saja…..!”

Maoncong-onconglah saya ke Harian Semangat. Kalau tak salah, antara tahun 88, bulannya saya lupa. Saat itulah saya bertemu dengan sosok Khairul Jasmi (KJ). Saya memanggilnya uda. Beliau memang lebih tua dari saya. Berita itu saya serahkan ke Uda KJ.

Rupanya berita itu jadi headline. Berturut-turut selama tiga hari. Pada hari ketiga, melalui Pak Safarni Budaya Putra (Wakil Kepala sekolah bidang humas) Pak Sjam menghimbau saya ke ruangannya. Kali ini, beliau agak lebih lunak. “ Pinto, terimakasih. Keputusan itu saya batalkan. Siswa yang ikut hiking boleh kembali masuk sekolah tanpa harus pemeriksaan keperawanan !”.

Itulah akhir berita. Kepsek SMA 3 Padang Cabut Keputusan. Tapi apa daya, berita itu telanjur menasional setelah dikutip oleh Majalah Tempo.

Saya temui Uda Kj. Berita tuntas.

Banyak pengalaman kehidupan berjurnalistik selama di Harian Semangat. Ada senior yang sangat berkesan di hati saya. Uda Nofi sastra namanya. Uda Nofi staf redaksi olahraga. Kalau saya pulang sekolah dan mengantar berita, orang pertama yang saya temui di harian Semangat adalah uda Nofi. Ia yang selalu memberikan undangan liputan kepada saya.

Ia juga yang selalu mengajarkan saya teknik berberita. Selain itu, hobi kami sama.Sama-sama suka pada dunia sastra. Selain bicara berita, kami kerap bicara tentang kepenulisan kreatif.

Uda Nofi sangat berperan dalam perjalanan jurnalistik saya, tapi tidak mempengaruhi ruang dan lagak aksara saya dalam memilih kata menjadi berita.

DI Harian Semangat saya mengenal uda Dian Wijaya, Da Ben, Uda Desri, uda  Edi Utama,  Zetrizal, Uda Jimmy Villi, uda Zul Koto, Uda Rhian d Khincai, Ni Yen, Ni Sri, Ni Dani, Ni El, NI Rahmi, Erion Saad dan uni Ica. Hampir semua senior di Harian Semangat itu baik pada saya.

Berita penghabisan saya di harian Semangat yang disertai dengan poto-poto adalah liputan seputar ospek di kampus-kampus. Waktu itu terkenal dengan “ Mahasiswi Terong”.  Berita seputar ospek yang aneh-aneh itu saya perkuat dengan potret seorang mahasiswi yang diperbagaikan senior dengan bedak tebal, bertopi buruk sambil mengulum terong.

Sampai pada akhirnya, Pak Effendi Koesnar memanggil saya ke ruangannya.

“Pinto, Inyik Nasrul Siddik butuh wartawan muda untuk koran Mingguan Canang yang baru beliau dirikan“, kata Pak Effendi Koesnar sambil melirik ke Pak Roesli Syaridin pada sebuah ruang redaksi Harian Semangat, “ kami berdua menyebutkan nama Pinto pada Inyik. Inyik setuju. Minta Pinto menemui Inyik di rumahnya jalan Bangka nomor 22 Wisma Warta Ulakkarang”.

Waktu itu sekitar akhir tahun 1988. Saya baru saja tamat SMA dan baru pula menyelesaikan Ospek di Fisipol Universitas Ekasakti Padang.

Atas permintaan Pak Effendi dan Pak Suli, saya berkunjung ke rumah Inyik Nasrul Siddik.

“Pak, awak disuruh Pak Suli dan Pak Effendi menemui Apak.Namo awak Pinto Janir”, kata saya begitu jumpa Inyik Nasrul Siddik. Gaya bersalam Inyik hangat benar. Beliau senyum. Senyum. Senyum yang sangat kharismatik. Inyik bertanya, apa saya bersedia bergabung dengan Mingguan Canang. Saya jawab pertanyaan Inyik dengan menyerahkan cerita bersambung serial anak muda yang sudah saya jilid tebal beserta “konsep” pikiran mengembangkan halaman di Canang dengan membuka ruang-ruang baru untuk mahasiswa, siswa dan para muda.

“ Ini Pinto Janir”, Inyik mengenalkan saya pada Bang Harris dan Bang Alwi seraya menyerahkan kumpulan cerita bersambung saya ke Bang Harris. Kelak di Mingguan Canang, serial itu terbit rutin sejak tahun 1988 itu hingga saya ‘berhenti’ di Canang tahun 2000. Serial Topan, nantinya digandrungi pembaca muda Canang. Selain serial Topan, saya juga bikin kolom “Kamu Menanyakan Topan yang Jawab”. Kolom ini juga banyak peminat pembaca muda Canang.

“Pinto, besok temui saya di kantor Canang di jalan S Parman Lolong”, ujar Inyik Nasrul Siddik. Kepada Inyik Nasrul Siddik, saya tak memanggil beliau dengan sebutan Inyik, tapi saya “ber-apak” ke beliau. Saya dengar belakangan, Bang Alwi Karmena, Bang Harris, dan Pak Yurman Dahwa (Redaktur Pelaksana Canang) memanggil Inyik dengan “ Da Nas…”.

Saya mulai kerja di Mingguan Canang ketika tiras Mingguan ini baru sekitar 3 ribuan.Suatu masa Mingguan Canang menjadi Mingguan terbesar dari segi oplah surat kabar di Sumatera tengah yakni mencapai 22 ribu eksemplar, oplah mana yang hingga kini (setahu saya) belum sanggup disaingi surat kabar harian lokal kita.

Begitu saya diterima di Mingguan canang, saya langsung diangkat jadi karyawan tetap dengan pangkat Redaktur. Saya redaktur paling muda di antara redaktur lainnya; Yorman Dahwat (Redpel) Harris Effendi Thahar, Alwi Karmena, Jayusdi Effendi dan Eddi Pranata PNP.

Selain mengurus halaman pendidikan dan remaja, saya juga diminta Pak Yoerman Dahwat  membantu menjadi editor halaman satu. Kelak satu-satunya orang yang diberi kepercayaan oleh Inyik menjadi Pemimpin Redaksi Canang adalah saya. Inyik melepaskan jabatan Pemimpin Redaksinya dan menyerahkannya kepada saya.

Harian Semangat, harian yang tak pernah saya lupa. Semangat bagi saya adalah harian Takambang manjadi Guru. Selanjutnya perjalanan berjunalistik saya mengalir seperti waktu bergulir. Memimpin beberapa Mingguan, ikut membidani pendirian Harian Sumbar Mandiri bersama Pak Basrizal Koto, lalu mendirikan dan membidani berdirinya stasiun TV swasta pertama di kota Padang bersama Yendril adalah sesuatu yang saya dapatkan dari “Alam Semangat”

Belakangan saya sering inbox facebook dan bercakap-cakap dengan Pak Sjafroeddin Bahar (alm) salah seorang pendiri semangat. Kalau sudah bicara tentang Semangat, saya dapat membaca betapa timbul semangat beliau. Bahkan begitu beliau tahu saya “alumni” Semangat, sering beliau menelpon saya. Sebelum beliau berpulang, pak Sjaf masih sempat mengirimkan buku karangannya kepada saya.

Semangat menempa saya. Semangat mendidik saya. Semangat menjadi alam dalam doktrin jurnalistik yang tak saya lupa. Sampai akhirnya saya berkesimpulan; berita adalah matahari. Panasnya tak memanggang tapi mencahayai.

Salam Semangat di hati !
Hidup spirit Semangat….
Share:
Komentar

Terbaru