Penulis: Dr Saiful Bahri Ruray, SH. Msi |
Lalu pagi subuh tadi saya juga membaca tulisan yang menggugah sang nurani dari Dr. Syahganda Nainggolan (Sabang-Merauke Institute), tentang pembantaian etnis di Wamena. Jelas dari koordinasi kemarin subuh, Kapolri merespon cepat dengan mencopot Kapolda Papua dan Istana Presiden pun melakukan rapat tertutup dengan agenda Papua.
Dalam benak saya, Indonesia tengah diserbu kepentingan proxy yang sedemikian sistematis dan terstruktur secara massif pula. Karena bagian barat dan tengah, yakni Sumatera dan Kalimantan lagi dilanda ecosida karena karhutla. Di ujung timur terjadi pembantaian bernuansa etnis seperti ungkap Syahganda Nainggolan, dan di tengahnya roboh dua martir mahasiswa Universitas Halu Uleo, Kendari, karena tembakan peluru tajam. Dan di pusat kekuasaan Jakarta, juga massa anarkis menumpang demo mahasiswa, bahkan 2 hari kemudian demo masih berlanjut dan melibatkan siswa-siswa STM untuk membuat situasi chaos di Jakarta. Sementara substansi yang diprotes, menjadi tidak terlalu signifikan lagi. Karena mereka tidak pernah menyentuh, apalagi membaca dengan cermat, bahkan tidak tahu apa yang menjadi tujuan demo anarkisnya.
Konklusi dininya, Indonesia sedang diporak-porandakan. Padahal sejak Selasa, 24 September 2019, di Kafe Kofi-Shaad, malah merespon demo dengan sebuah forum diskusi serius sambil ngopi. Dan saya mengirim seluruh materi mulai dari rancangan RKUHP dan revisi UU KPK, materi sidang, juga pasal-pasal yang kontroversial untuk forum tersebut. Sayangnya ada juga sedikit insiden di DPRD Sulut. Walau tidak separah di Jakarta dan Kendari. Kemudian dua hari lalu, teman-teman dosen di Manado dan Palu, mengajak diskusi, bahkan tele-conference, namun belum sempat saya lakukan karena masih berkutat dan terkurung di Senayan, terkepung massa yang lagi emosional. Masih tentang pasal-pasal kontroversial dimana saya sedikit membeberkan platform teoritik yang menjadi alas pikir di belakang rancangan undang-undang tersebut. Juga kepada Dr. Rahman Conoras, dosen senior Unsrat, saya sampaikan kegelisahan dua orang pinisepuh penyusun undang-undang tersebut, Prof. Muladi dan Prof. Barda Nawawi Arief yang sangat dalam. Mereka berdua, terlibat sejak usia muda dalam menyusun undang-undang nasional, sejak 1968, agar kita hukum kita bisa terlepas dari nuansa kuatnya kolonialisme yang telah kita gunakan selama 103 tahun silam. Juga saya menyertakan copy percakapannya Prof. Romli Atmasasmita, sebagai seorang mastermind yang menyusun UU KPK 17 tahun silam.
Sayapun jadi teringat sepotong kalimat dari Prof. Agustine. Kakauhe-Tusaoh, SH, 'tiada sesuatu yang abadi terkecuali perubahan itu sendiri.' Untungnya saja sejak di kampus, kita-kita mahasiswa sudah diperkenalkan dengan berbagai pemikir dunia. Dari situ pula, mahasiswa dituntut untuk membaca ''The Great Political Thinkers, from Plato to the Present" sebuah magnum opus karya William Ebenstein, yang menjadi buku wajib ilmu filsafat yang diajarkan Prof. Mr. GMA. Inkriwang. Tidak mengherankan profesor senior dan mantan rektor ini adalah lulusan Leiden, Belanda,1927, dan seorang pentolan Permesta yang sempat menjabat menteri dalam kabinet Permesta.
Melalui beliau juga kita mahasiswa diperkenalkan dengan pikiran Gaetano Mosca, tentang "The Rulling Class." Pada zaman saya menjadi mahasiswa, yang menguasai dua kitab klasik tersebut, dianggap nyaris telah sarjana deh. Sedangkan dari Prof.Agustine Kakauhe-Tusaoh pula, kita mahasiswa diperkenalkan dengan kitab klasik karya pemikir Bertrand Russel: "A History of Western Philosophy." Bahkan dalam diktat beliau juga, ada tercantum bab khusus tentang pemikir filsafat Islam seperti Al Ghazali, Averous (Ibnu Rusyd) dan Avecienna atau Ibnu Sina.
Adapun yang terjadi di Wamena, kita menyaksikan publik yang tergerak anarkis karena cenderung percaya medsos dan meme yang menyesatkan akal sehat kita. Dan terjadilah krisis bangsa ini, karena hoax. Dalam hati saya, untung dua atau tiga bulan lalu, saya telah mengirim beberapa literatur tentang hoax dan manipulasi informasi, kepada teman-teman pegiat sosial di Manado. Kurang lebih 5 atau 6 buku-buku terbaru tentang manipulasi informasi dan hoax yang memang tengah melanda dunia, seiring era IT dewasa ini.
Pantas saja Yuval Noah Harari mengatakan abad 21 ini akan lahir agama baru yakni info-tech dan bio-tech. Agama ini, menurut Harari, tidak lagi berbasis kitab suci, namun lahir dari laboratorium sains. Sayangnya realitas terakhir kita yang semakin anarkis, jelas jauh dari makna sains itu sendiri. Apakah ini pertanda kita menjadi gagal menjadi Homo Deus, ataukah menuju sebuah negara gagal? Sebagaimana yang dikatakan Daron Acemoglu dan James A.Robinson dalam bukunya "Mengapa Negara Gagal.''
Situasi Wamena dan Jakarta, juga Kendari, seakan mengingatkan kita bahwa betapa sulitnya meluruskan logika jika telah dipelintir dan diolah sana-sini melalui opini publik. Kitapun seakan menjadi susah membedah dimana letak kebenaran. Karena antara fakta atau fiksi menjadi samar dan susah dibedakan.
Sayapun jadi ingat pada sebuah buku tua, dipinjamkan Bunda Prof.Dra.Harasa Alitu-Pakaya, kepada saya, berjudul "Pengantar Logika, Ilmu Berpikir" untuk dijadikan referensi saat memberi materi pada sebuah forum Basic Training mahasiswa di Manado. Karena saya diminta memberikan materi tentang pengantar logika. Saya lalu menghadap ke rumah Bunda Prof. Dra. Harasa Pakaya, seorang dosen senior pada IKIP Manado, dan berdiskusi lalu meminta pendapat. Dari beliau saya diberi buku tersebut untuk dijadikan referensi. Mungkin buku tua tersebut, masih relevan dan signifikan utk meneropong apa yang terjadi hari ini.
Jelas saja, kita Indonesia lagi dihadang akal sehatnya.
Wallahu a'lam bis sawab.
Kafe Janglaha, Bastiong, 29 September 2019.