Ekologi Bali Selatan Terancam Rusak karena Reklamasi

Editor: Taufik

Rencana pembangunan reklamasi di Teluk Benoa, Bali, terus mengundang penolakan dari berbagai elemen masyarakat yang tergabung dalam Forum Rakyat Bali Tolak reklamasi Teluk Benoa (ForBALI).

Penolakan yang dilakukan ForBALI tersebut dilatarbelakangi rencana reklamasi seluas 700 hektar di Teluk Benoa itu dianggap merusak lingkungan dan mengabaikan partisipasi publik.


Salah satu organisasi lingkungan hidup yang turut serta menolak reklamasi Teluk Benoa, Wahana lingkungan hidup (Walhi) Bali, menyatakan rencana pembangunan pulau buatan di wilayah Bali Selatan tersebut berpotensi merusak ekologi Bali Selatan. Rencana reklamasi dinilai akan merendam wilayah Bali Selatan akibat berkurangnya fungsi Teluk Benoa sebagai tampungan air.


“Sebelum reklamasi, dulu Tanjung Benoa pernah terendam banjir karena hujan deras selama 3 jam dan pasangnya air laut setinggi 50 meter. Pembangunan reklamasi akan berpengaruh pada lima sub daerah aliran sungai (sub-DAS), yaitu DAS Badung, DAS Mati, DAS Tuban, DAS Bualu, dan DAS Sama. Pembangunan ini akan berpengaruh pada berkurangnya wilayah tampungan air sehingga banjir di Bali Selatan tidak terelakkan,” ujar Direktur Walhi Bali, Suriadi Darmoko kepada Kompas.com, Jumat (27/02/2015).


Selain itu, lanjut Darmoko, reklamasi Teluk Benoa juga akan berpengaruh pada rusaknya fungsi dan nilai konservasi kawasan serta perairan wilayah tersebut. Pembangunan tersebut memiliki ancaman terhadap kerusakan keanekaragaman hayati di wilayah Teluk Benoa.


“Teluk Benoa itu sebagai daerah penampung air dari 5 DAS, kawasan suci masyarakat adat Bali, kawasan ekosistem mangrove, dan secara lokal berfungsi sebagai sistem penyangga kesehatan terumbu karang. Fungsi kawasan konservasi itu akan menghilang jika pembangunan reklamasi Teluk Benoa itu dilakukan,” tandas Darmoko.


Darmoko menjelaskan, rencana pembangunan reklamasi Teluk Benoa dilakukan secara tertutup tanpa mengajak partisipasi publik. Padahal menurutnya, masyarakat perlu diajak duduk bersama untuk pengkajian pembangunan reklamasi di wilayah Bali Selatan tersebut.


“Walhi bersama elemen masyarakat yang tergabung dalam ForBALI jelas menolak pembangunan reklamasi di Teluk Benoa. Pasalnya, proses perencanaan pembangunan tak pernah mengajak partisipasi publik," tambah Darmoko.

Dulu pembangunan reklamasi ini melanggar Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 45 Tahun 2011. Sekarang muncul Perpres Nomor 51 Tahun 2014 sebagai perubahan Perpres terdahulu yang mengatur kawasan Sarbagita tanpa mengajak elemen masyarakat untuk mengkaji lebih dalam.

Tinjau ulang


Menanggapi hal tersebut, Pakar Hukum lingkungan hidup, Asep Warlan, mengatakan pembuatan Perpres terbaru harus ditinjau ulang lewat Kajian lingkungan hidup Strategis (KLHS). Hal ini disebabkan perlu adanya peran masyarakat dalam penentuan peraturan dari sisi lingkungan hidup untuk suatu wilayah strategis.


“Bali itu kan memang masuk ke dalam kawasan strategis yang ditetapkan dalam Perpres oleh pemerintah pusat. Tapi harus dilihat juga potensi wilayahnya. Bali memang membutuhkan kawasan budidaya untuk menunjang posisi itu tapi harus diukur sampai sejauh mana berdampak pada lingkungan hidupnya. Nah hal ini bisa ditinjau lewat KLHS yang komponennya terdiri dari masyarakat terdampak, masyarakat pemilik informasi atau keahlian, serta yang memiliki legal standing. Dari KLHS itu baru kita bisa menentukan apakah pembangunan reklamasi Teluk Benoa diperlukan atau tidak,” ujar Asep.


Menurut Asep, ada dua kemungkinan yang bisa ditarik dengan adanya pembuatan KLHS. Pertama, pembangunan reklamasi akan ditunda atau diperbaiki. Kedua, pembangunan reklamasi bisa dibatalkan akibat alasan pengrusakan lingkungan hidup.


“Ada dua kemungkinan dengan adanya pembentukan KLHS, yaitu diperbaiki/ditunda atau bahkan dibatalkan. KLHS ini kan produk hukum objektif yang diperlukan dalam pembangunan suatu kawasan strategis,” tandas Asep.


Asep melanjutkan, pembentukan KLHS ini merupakan dasar penetapan sebelum nantinya masuk ke berbagai izin yang akan diberikan atas pembangunan reklamasi di Teluk Benoa. Menurutnya bila KLHS ini diabaikan, pembangunan akan timpang karena tidak diikutsertakannya partisipasi publik.


“Ini sebagai landasan awal ketetapan sebelum masuk ke Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), Izin Lingkungan, hingga sampai ke Izin Kegiatan. Pemerintah tidak bisa mengabaikan (partisipasi publik). Lagipula untuk keseluruhan izin sebenarnya juga perlu partisipasi publik,” tutur Asep.

Belum ada pekerjaan reklamasi

Perusahaan pengembang properti PT Tirta Wahana Bali Internasional, sebagai salah satu investor yang terlibat dalam rencana reklamasi melalui proyek revitalisasi kawasan Teluk Benoa, tetap akan melanjutkan proyek tersebut.

Namun, sebagaimana diberitakan sebelumnya, belum ada pekerjaan reklamasi. Pasalnya, perizinan mengenai analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) belum rampung.

"Tapi, kami memastikan proyek ini masih tetap berjalan meskipun ada pro dan kontra di kalangan masyarakat. Saat ini terus melakukan kajian lingkungan tahap kedua untuk mendapatkan izin AMDAL dari instansi terkait.," kata Komisaris PT TWBI, Leemarvin Lieano.

Pada konferensi nasional yang dibuka Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Rabu (19/11/2014), Marvin mengatakan kawasan Teluk Benoa kini terancam abrasi dan sedimentasi. Hal itu sebagai dampak pendangkalan yang terjadi setiap tahun akibat tata cara kelola sampah dan limbah yang belum terintegrasi dengan baik.

"Dari total sekitar 700 hektar kawasan perairan di Benoa itu, rencananya hanya 400 hektar yang dikembangkan, sedangkan 300 hektar sisanya khusus untuk kawasan hijau," kata Marvin.

Adapun rencana revitalisasi yang akan dilakukan TWBI meliputi pengerukan laut hingga kedalaman sekitar 2,5 meter di bawah permukaan laut. Tanah hasil pengerukan itu nantinya akan digunakan untuk membentuk beberapa pulau buatan yang di atasnya dibangun berbagai fasilitas.

Share:
Komentar

Terbaru