Otsus Maluku Utara, Cita-cita Lama yang Lahir dari Tidore

Editor: Redaksi
Dokumentasi Rizal Hamanur
Tidore, M.id, - Otonomi Khusus (Otsus) bermula di 2013 silam. Kala itu, di Kota Tidore Kepulauan, ada kelompok masyarakat yang mencoba mengagas pemekaran ibu kota provinsi di Sofifi -- yang sampai hari ini -- masuk sebagai wilayah administartif Kota Tidore Kepulauan.

"Lalu di tengah usulan itu, Sultan Tidore (Alm Djafar Sjah) menolak pemekaran Sofifi. Saat itu terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah provinsi dengan pihak kesultanan," ujar Hasby Yusuf, inisiator pembentukan Dewan Otonomi Khusus Maluku Utara, kepada Malut.id, Rabu 9 Oktober 2019.

Kala itu, Hasby diundang pihak Kesultanan Tidore untuk membawakan pidato tutup tahun 2013 - 2014. Dalam kesempatan itu, Hasby bertanya, apa yang harus disampaikan dalam pidato tersebut. "Mereka minta saya bicara soal pemekaran Sofifi," tandasya. "Ketika Sofifi dimekarkan, Tidore jadi apa?."

Saat itu, kata Hasby, muncul pemikiran Otsus Tidore. Dalam skemanya, ketika Sofifi dimekarkan maka Gubernur dan Sultan Tidore bisa duduk satu meja. "Jadi silahkan Sofifi dimekarkan, dan Tidore kita gagas untuk di-Otsus-kan," ujarnya.

Serangkaian upaya telah dilakukan. Sejumlah dokumen kemudian dibawa ke DPR RI melalui Basri Salama, senator dari Malut kelahiran Tidore. "Karena waktu itu kan belum ada UU tentang Otsus kabupaten/kota," ucapnya.

Setahun kemudian, Hasby dan seorang rekannya, Dr. King Faisal bersama Kesultanan Ternate membuat seminar untuk menggagas Otsus Malut. "Kita rapat di Kedaton Kesultanan Ternate, kita buat seminar dan lahirlah gagasan Otsus Maluku Utara," jelasnya.

Beberapa bulan kemudian, Dr. King Faisal pindah ke Yogyakarta. Perjuangan mendorong Otsus Malut pun terhenti hingga kembali dimunculkan. "Jadi beberapa pejuang-pejuang pemekaran provinsi berkumpul dan mengagas kembali Otsus Malut ini," jelasnya.

Garis besarnya, motivasi membentuk Dewan Otsus Malut sama seperti yang pernah diperjuangkan untuk Otsus Tidore. "Jadi hal ini bermula dari kepentingan Tidore yang kemudian diperluas dalam lingkup Malut," ujarnya.

Bagi Hasby, ketika Kesultanan di Moloku Kie Raha [merujuk pada 4 kerajaan di Maluku Utara, yakni Jailolo, Bacan, Tidore, dan Ternate] melebur ke dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), apa yang diberikan oleh negara?

Begitu juga ketika Kesultanan Tidore menyumbang Irian Barat masuk ke NKRI, apa yang telah negara berikan pada Tidore, dan Malut secara keseluruhan. "Jadi apa yang telah diberikan negara terhadap seluruh kesultanan di Indonesia? Kan tidak ada, kecuali Yogyakarta," katanya.

Sementara, mantan anggota DPD RI, Basri Salama, menegaskan bahwa wacana Otsus berangkat dari sebuah realitas yang memperlihatkan kesenjangan antara wilayah barat dan timur. "Termasuk Maluku Utara," katanya.

Pernyataan Basri relevan dengan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 5 Agustus 2019 lalu, terkait perkembangan Ekonomi Indonesia Triwulan II-2019. Di mana, Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku triwulan II-2019 mencapai Rp 3.963,5 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp 2.735,2 triliun.

Angka PDB tersebut lebih dari separuhnya disumbangkan Pulau Jawa. Pulau dengan penduduk terpadat di Indonesia tersebut menyumbang 59,11 persen terhadap total PDB Indonesia. Sumbangan besar lainnya berasal dari peranan pulau Sumatera. Pulau tersebut menyumbang 21,31 persen terhadap total PDB.

Sumbangan terkecil datang dari Maluku dan Papua. Kedua pulau di wilayah timur tersebut hanya menyumbang 2,17 persen terhadap PDB Indonesia pada Triwulan II-2019. Sumbangan kedua pulau tersebut kalah dari Bali dan Nusa Tenggara dengan 3,06 persen, dan Sulawesi dengan 6,34 persen.

Peranan yang kontras antara Sumatera dan Jawa yang mencapai 80 persen dibandingkan pulau-pulau di wilayah timur tersebut, memperlihatkan adanya ketimpangan ekonomi. Perekonomian Indonesia lebih banyak bergeliat di wilayah barat. Selain ketimpangan dalam ekonomi, di sisi lain, kesenjangan sosial juga menjadi masalah di wilayah timur.

Dari fakta ini, bagi Basri, tidak sebanding dengan kekayaan alam yang dimiliki di wilayah timur. Termasuk sejarah masa lalu. Sehingga, hasil survei yang menyebut Malut adalah provinsi paling bahagia sangat lemah. "Ya indikatornya apa? Karena orang Malut paling mudah bahagia. Dengar musik saja langsung goyang," katanya.

Sebelumnya, BPS merilis indeks kebahagiaan paling tinggi adalah Malut dengan 75,68 point. Namun bagi Basri, kebahagiaan bukan karena masyarakat menikmati apa yang telah diberikan oleh negara. "Tetapi dia mendapatkan apa yang didapat hari itu juga," tandasnya.

Kekhususan Malut, menurut dia, jika disamakan dengan Papua, Papua Barat, dan Aceh, terdapat kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Semua nyaris mampu membiayai negara ini. "Termasuk kearifan-kearifan lokal yang dibentuk setelah diberikan Otsus," katanya.

Menurut dia, pada awalnya masyarakat Aceh dan Papua tidak melihat kearifan lokal sebagai bargaining atau nilai tukar. Di mana, bukan soal menghidupkan qanun di Aceh atau noken di Papua. Tetapi adanya pembangunan yang adil. "Pemerataan," tandasnya.

Karena menurut Basri, SDA yang diberikan ke negara tidak sebanding dengan apa yang diperoleh. Begitu pun di Malut. Sehingga, perhatian khusus sangat dibutuhkan. "Khusus pada bagian apa? Pertanyaan yang sama pernah muncul sebelum Aceh dan Papua diberi Otsus, mereka tidak pernah berdiskusi tentang kekhususan qanun atau noken," ujarnya.

Kekhususan yang dimaksud adalah, anggaran yang besar untuk memperkecil disparitas pembangunan di masing-masing daerah. "Dari situlah daerah memanfaatkan untuk mengangkat hal-hal yang khusus tadi," jelasnya.

Namun perkembangan alokasi dana Otsus dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020 untuk Provinsi Papua dan Papua Barat cenderung stagnan. Dalam RAPBN 2020, dana Otsus untuk Provinsi Papua dan Papua Barat sebesar Rp 8,37 triliun.

Sementara, untuk Provinsi Aceh tercatat sebesar Rp 8,4 triliun. Secara rinci, perkembangan dana Otsus Provinsi Papua sebesar Rp 5,9 triliun atau sama dengan proyeksi 2019.

Selama kepemimpinan Jokowi, alokasi dana Otsus untuk Provinsi Papua hanya berada di kisaran Rp 4,9 triliun - Rp 5,9 triliun. Sementara untuk Provinsi Papua Barat sejak 2015 berada dikisaran Rp 2,1 triliun-Rp 2,5 triliun.

Namun bagi Basri, adanya alokasi dana Otsus, sejatinya pemerintah sudah berkeinginan baik. Hal ini dapat dilihat dari lahirnya UU Otsus di beberapa daerah. Namun soal komitmen dalam pengelolaan, semua kembali pada tanggung jawab masing-masing daerah.

"Karena problemnya bukan di pusat, tapi daerah. Jadi kalau Malut diberikan hak yang sama, saya kira akan jauh lebih baik dari daerah lain yang sudah menerima Otsus," bebernya.

Menanyakan seberapa efektif jika Otsus didorong dengan latar historis, Basri katakan, Sumatera jauh lebih maju dari daerah lain. Namun mereka hanya menghasilkan batubara dan hasil hutan. "Tapi perhatian pemerintah pusat terhadap Sumatera, Kalimantan, jauh lebih besar dari daerah di kawasan timur Indonesia," katanya.

Disparitas, menurut dia, ada di kawasan timur Indonesia. Tidak ada di daerah lain. Sudah begitu, perhatian pun tidak terlalu besar. "Jadi kalau misalkan ada daerah lain yang menuntut hak yang sama dengan latar sejarah, ya silakan," ucapnya.

Karena di Malut, kata dia, yang paling urgensi adalah pelayanan dasar meliputi pendidikan, kesehatan, infrastruktur, sosial masyarakat dan lain-lain. "Sebab ini juga kita jauh tertinggal dibandingkan daerah lain. Padahal kita termasuk daerah penghasil nikel terbesar," ujarnya.

Hal senada disampaikan Anggota DPRD Provinsi Maluku Utara, Sofyan Daud. Dia berharap Otsus dapat menjadi solusi, untuk mempercepat pembangunan serta kepentingan strategis lainnya. "Baik kepentingan daerah maupun nasional," ucapnya.

Bagi Sofyan, motivasi mendorong Otsus karena faktor sejarah, budaya, serta kontribusi Maluku Utara terhadap eksistensi NKRI. "Jadi saya kira kita butuh perhatian lebih secara khusus," tandasnya.

Sedangkan hal yang paling urgen di Malut, kata dia, adalah adanya gejala lost control terhadap kebijakan investasi serta perlindungan hak-hak masyarakat lokal. "Kalau nantinya muncul tuntutan yang sama dari daerah lain, bagi saya sah-sah saja," tegasnya.

Karena secara konstitusional, status Otsus sangat dimungkinkan. Sehingga tidak salah jika ada tuntutan secara konstitusi. "Karena ini perjuangan yang konstitusional. Jadi saya kira ada alasan-alasan yang logis-lah," imbuhnya.

Sejatinya, kehadiran Otsus karena negara melihat ada sesuatu yang urgent. Sehingga, jika itu didesain dengan baik serta mendapat dukungan lebih luas, maka kepentingan-kepentingan nasional bakal terealisasi dengan baik.

"Misalnya, mendesain kawasan-kawasan strategis perekonomian untuk menghadapi perkembagan Pasifik ke depan dan pertahanan keamanan, artinya kapasitas daerah yang sangat baik tentu sangat mendukung itu," ujarnya.

Namun besarnya dana Otsus yang digelontorkan pemerintah pusat untuk Papua belum tersalurkan dengan baik. Dalam Focus Group Discussion (FGD) pada Kamis (31/1) lalu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengumpulkan beberapa informasi awal terkait pengelolaan dana Otsus Papua.

Salah satunya, regulasi pelaksanaan Otsus yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan belum ditetapkan secara lengkap. Selain itu, BPK menilai penggunaan dana tersebut belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan peruntukan yang telah diatur bagi masing-masing sumber dana.

Bahkan pelaksanaan Otsus juga dinilai belum optimal dalam meningkatkan ukuran kesejahteraan masyarakat Papua dan Papua Barat. Hal ini menuai kekuatiran dari beberapa kalangan di Malut. Alasan mereka, ditakutkan bermunculan 'raja-raja' kecil yang menikmati dana tersebut.

Hal ini diakui oleh Sofyan, bahwa dari fakta-fakta itu bakal memunculkan rasa trauma. Namun dari situ kita dapat belajar dari kelemahan-kelemahan yang terjadi di Papua. "Jadi saya kira, kekuatiran itu perlu kita duduk rembuk bersama. Kira-kira apa formatnya ke depan," ujarnya.

Paling tidak, kata dia, kekhususan pertama yang diminta adalah memberikan posisi setara dan egaliter terhadap kekuatan-kekuatan atau representasi kelompok masyarakat lokal. "Di dalamnya ada pihak kesultanan, lalu para bobato (semacam kabinet kerja). Jadi mereka diberi peran yang seimbang dalam perumusan kebijakan," jelasnya.

Menurut dia, dengan melihat mekanisme politik formal yang miss sana-sini, lantas muncul pemimpin dengan kapasitas serta komitmen yang diragukan, lalu tiba-tiba menyerahkan aset pada satu-dua orang yang tak becus untuk menyepakati dengan para investor, tentu akan memunculkan problem berkepanjangan.

"Tiba-tiba kelapa sawit sudah masuk di mana-mana, tambang dibuka secara serampangan, jangka panjang kan kita rugi. Kalau orang mau berinvestasi, ya tentu tokoh-tokoh setempat harus dilibatkan. Mereka harus setara dengan bupati, gubernur, dan DPRD. Dengan begitu, kepentingan lokal bisa lebih aman," bebernya.

Menyentil soal kekhususan Aceh, Papua, dan Yogyakarta, bagi Sofyan, Malut bahkan lebih dari 3 wilayah tersebut. "Itu kalau mau jujur. Karena kontribusi kami untuk bangsa ini dengan penguatan keutuhan NKRI serta terintegrasi secara nasional, saya kira sangat besar," katanya.

Dipandang dari sisi kelokalan, jika Aceh ada hukum syariat, maka di Malut ada sistem nilai dan budaya. Sementara, jika Papua dengan SDA, di Malut pun demikian. "Jadi ini (Otsus) langkah ikhtiar. Harapannya, semua pihak dapat memberikan dukungan yang dianggap perlu, kami tetap terbuka untuk di diskusikan," tutupnya.

Menanggapi hal itu, Pengamat Hukum, Sosial, dan Politik Malut, Sumarlin Maate, mengatakan tidak ada alasan untuk mengotsuskan Malut. "Sebab Malut bukan daerah terluar," katanya.

Menurut dia, jika menggunakan pendekatan geografis, bakal berbenturan dengan isu kemaritiman. Otsus, jika kata kuncinya adalah kepulauan, itu bisa diterima. Sebab Malut adalah daerah yang hampir 90 persen seluruh aktivitas kebijakan publik dan pemerintahan, dilakukan melalui sektor kepulauan. "Itu alasan yang tepat," tandasnya.

Menurut dia, jika kita mewacanakan Otsus, maka harus berbicara tentang kekhususan Malut yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Yakni, luas lautan yang lebih luas dari daratan. Karena Malut adalah daerah kepulauan. "Kalau itu yang kita dorong dalam Otsus, bisa diterima," urainya.

Senada, Akademisi Universitas Khairun Ternate, Mukhtar Adam, mengatakan kekhususan ada pada nilai atas sebuah pengakuan dari keaslian wilayahnya. "Karena itu Aceh diberikan kekhususan dengan semangat keagamaannya, makanya disebut Serambi Mekah. DKI Jakarta berangkat dari undang-undang yang mengamanatkan itu sebagai ibukota negara," jelasnya.

Yogyakarta, kata dia, ada kesultanan yang nilai-nilainya masih dijaga. Sebab Sultannya juga pernah menjadi menteri. "Papua untuk mendorong percepatan pembangunan dan sumber daya manusiannya, tapi toh faktanya masih terjadi ketimpangan," paparnya.

Persoalan Otsus Papua, kata Mukhtar, selain keaslian kultural, terdapat keterlambatan pembangunan serta indeks pembangunan manusia (IPM). Namun dana Otsus yang digelontorkan pemerintah tak menetes ke bawah. "Makanya Papua sekarang lagi mengarah pada berakhirnya status Otsus," katanya.

Sebab menurut dia, fakta menunjukkan adanya kelambatan pembangunan, IPM, serta kucuran dana yang tidak mengalir sampai ke bawah. "Aliran dana menumpuk pada elite. Padahal budgetnya untuk menyeimbangkan dengan daerah lain di Indonesia," katanya.

Diakui Mukhtar, bahwa pertumbuhan perekonomian Malut cukup tinggi. Namun itu didorong pertambangan. Sedangkan sampai hari ini, masalah petani kopra tak kunjung tuntas. "Karena kita tidak menyentuh pada aspek yang paling substansial. Jadi kenapa kita tidak ribut soal harga kopra, tambang, yang rohnya ada pada rakyat?" Tanyanya.

Mukhar mengapresiasi langkah para aktivis Malut dalam mendorong Otsus tersebut, namun ia menyarankan agar sebaiknya selesaikan dulu persoalan Sofifi yang sampai hari ini belum dimekarkan. "Jadi kalau jadi anggota dewan, bisa tidak berkomitmen untuk pemekaran Sofifi?" Cetusnya.

Menakar Otonomi Khusus Maluku Utara

Kesenjangan dan historis menjadi alasan kuat untuk mendorong otonomi khusus Maluku Utara. Soal sejarah, Malut dipandang punya andil serta berkontribusi besar terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan aspek pembangunan, kawasan timur Indonesia dinilai kalah jauh dengan wilayah Barat.

Namun upaya yang didorong sejumlah aktivis yang pernah memperjuangan pemekaran Provinsi Maluku Utara itu, menuai kritik dari sejumlah kalangan. Kendati masih dalam pandangan yang normatif.

Lantas apa sisi positif dan negatifnya jika status Otsus diberikan ke Malut?
Berikut hasil wawancara wartawan freelance Malut.id, Noer, dengan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Hendra Kasim.


Mungkinkah Malut dapat diberi Otsus?

Menjawab pertanyaan ini, saya perlu mengurai dua alasan mendasar dalam perspektif teori daerah di Indonesia yang mendapatkan pemberlakuan Otsus. Pertama, landasan hak asal-usul. Ini bisa dilihat dari berbagai perspektif, misalnya sejarah masuknya suatu daerah ke pangkuan NKRI, atau perjuangan suatu daerah dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan dan/atau mempertahankan kemerdekaan.

Pada konteks ini, apakah Malut memenuhi unsur atau tidak?

Saya pikir biar ahli sejarah yang mengurai.

Alasan kedua?

Landasan kebutuhan. Ini bisa dilihat dari perspektif budaya atau demografi, misalnya. Di Indonesia, pengelolaan maksimal batas laut provinsi adalah 12 mil dari pantai pulau terluar. Padahal, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah 200 mil.

Sebab itu, provinsi kepulauan seperti Maluku Utara yang luas lautnya dua kali lebih luas dari luas daratan menyebabkan kewenangan pengelolaan daerah oleh pemerintah provinsi sangat terbatas.

Berbeda dengan provinsi lain seperti Jawa, Sumatera dan Kalimantan yang luas daratan lebih luas dari luas laut.
Berdasarkan dua perspektif ini, pertanyaan apakah Malut mungkin diberikan Otsus, saya pikir sangat mungkin.

Apa kekhususan Malut jika dibandingan Papua, Aceh dan Yogyakarta?

Sebelum menjawab kekhususan dari Malut, perlu kita lihat kekhususan dari Papua, Aceh dan Yogya.
Kekhususan Papua adalah soal adat sehingga di Papua itu ada Majelis Rakyat Papua yang merupakan representasi tokoh adat. Kekhususan Aceh adalah syariat Islam. Sementara kekhususan Yogya, salah satunya ada pada model pengisian jabatan kepala daerah, dimana Sultan Yogya adalah otomatis Gubernur DIY.

Menurut saya, yang dapat menjadi kekhususan di Malut itu ada dua, yaitu demografi laut yang begitu luas dan kekhususan adat namun tidak seperti di Yogya. Penjelasan mengenai kekhususan adat yang tidak seperti Yoyga itu saya pikir perlu penjelasan tersendiri.

Efektifkah jika Otsus Malut didorong dengan latar Historis?

Menurut saya justru titik tolak mendorong otsus Malut harus berangkat dari landasan hak asal-usul yang salah satunya adalah perspektif historis. Meskipun begitu, kita harus jujur pemberian Otsus di tiga daerah yaitu Aceh, Papua dan Yogya, yang selalu dilatar belakangi oleh gerakan yang mengganggu integrasi bangsa.

Di Aceh ada manufer GAM misalnya. Di Papua ada gerakan makar OPM misalnya. Sedangkan di Yogya, pada massa Pemerintahan SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), kita ingat gonjang-ganjing Otsus Yogya, sehingga Ratu Yogya yang juga merupakan anggota DPD RI pada waktu itu, menyerukan Yogya tetap istimewa atau referendum.

Sebab itu, menurut saya, selain Otsus DKI Jakarta, Otsus di tiga daerah lain adalah kebijakan kompromistis negara untuk meredam gejolak yang mengancam integrasi bangsa.

Apa yang paling urgent untuk dibenahi di Malut?

Saya salah satu orang yang setuju mendorong Otsus di Malut, karena sejak tahun 2014 saya telah menulis dan menerbitkan buku dengan judul Otonomi Khusus Maluku dan Maluku Utara - Project Kawasan Khusus Kelautan.

Meskipun begitu, menurut saya saat ini masih banyak hal yang lebih urgent dilakukan di Malut dari sekadar mendorong Otsus. Salah satunya adalah soal status Kota Sofifi yang tidak kunjung arah lintangnya. Masa provinsi yang begini kaya, ibu kotanya berstatus kecamatan. Inikan lucu. Atau misalnya soal lingkungan yang rusak karena operasi pertambangan.

Apakah tuntutan Otsus Malut lebih dari sekadar budget?

Menjawab pertanyaan ini, saya bersikap tegas, jika Otsus hanya sekadar urusan budget, lebih baik tidak usah Otsus. Banyak riset membuktikan Ktsus di Aceh dan Papua yang mendapatkan dana Otsus fantastis, namun tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat dan pemerataan pembangunan di daerah. Hanya memperkaya elite lokal saja.

(Noer)
Share:
Komentar

Terbaru