Menakar Kesiapan Perempuan Maluku Utara Menghadapi Pemilu 2019

Editor: Redaksi

Oleh : Ariani La Abu 
Ketua umum PB FORMMALUT se JABODETABEK

Belum juga memasuki tahun pesta demokrasi, suhu politik Maluku Utara kental dengan wacana Pilkada. Namun sejak di mekarkan Maluku Utara pada tahun 1999 menjadi Provinsi baru, belum pernah ada sosok perempuan yang terdengar, baik yang sudah maupun yang akan bertarung di Pilkada 2018-2019. Padahal kebijakan pasal 55 undang-undang tahun 2012, tentang partai politik memuat paling sedikti 30% keterwakilan perempuan dalam pasal 56 ayat 2, menyebutkan bahwa dalam setiap 3 bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 keterwakilan perempuan. Aturan-aturan ini di kuatkan dalam peraturan komisi (KPU) Nomor 7 tahun 2013 pada pasal 11b,11d,24ayat 1c-d dan ayat 2.

Sangat di sayangkan, Selama ini Parpol rata-rata masih terkoptasi dengan  angka 30%. Yang kemudian asal merekrut perempuan berdasarkan jenis kelamin dan bukan mengutamakan representasi dan kualitas. Parpol hanya merekrut atas dasar modal, popularitas, seperti penguasa dan kelompok pragmatis lainnya.

Perempuan di Indonesia berkisar 51,2 % dari jumlah masyarakat Indonesia dan yang terlibat aktif dalam memperjuangkan hak-hak perempuan hanya 10,8%, ini menunjukan masih sangat minimnya perempuan dalam  proses memperjuangkan aspirasinya, masih sangatlah minim.

Pada tahun 1995 tercantum dalam Beijing platform for action (BPfA) yang di kuatkan oleh PBB. Demokrasi menuntut system keterwakilan yang memungkinkan semua kelompok terwakili. Di kuatkan oleh Bapennas melalui IDI (Indeks Demokrasi Indonesia) yang menjadi salah satu sektor pembangunan jangka menengah (RPJM) 

Tiga aspek penting yang menjadi tolak ukur IDI adalah aspek kebebasan sipil, hak-hak politik dan lembaga demokrasi. Untuk menuju pemerataan kesejahtraan penting kiranya kita melihat 3 aspek ini, seperti kebebasan sipil adalah aspek dimana meminimalisir diskriminasi gender. Hak politik jelas yaitu untuk memilih dan dipilih. Tujuan peningkatan kuota perempuan ini adalah salah satu alternatif memastikan implementasi pelaksanaan UU yang berpihak pada perempuan, seperti tingginya PKDRT yang disebabkan implimentasi UU no 23/2004 yang belum efektif, UU perkawinan No 1 tahun 1974 yang di revisi. Undang-undang penempatan dan perlindungan tenaga kekrja Indonesia.

Dengan tingginya kuota, harusnya itu mampu mewujudkan kesejahteraan yang lebih baik bagi perempuan pada umumnya, namun yang terjadi di lapangan hanya menguntungkan perempuan di kalangan elit saja, sekalipun kuota itu mencapai 100% ini tidak akan ada bedanya dengan para perrempuan yang hidup di bawah system kapitalis yang korup, menindas dan inkompoten.  

Partai politik Maluku Utara harusnya bisa lebih bijak dalam memilih kader perempuan yang bukan lagi di ukur dari aspek pemodal, namun benar-benar adalah perempuan “bergerak” agar hak- hak perempuan dapat di perjuangkan. 

Semoga 2019 jauh lebih baik untuk perempuan Maluku Utara.
Share:
Komentar

Terbaru