Fasial Karim | Malut.Co |
TIDORE,MALUT.CO - Di samping bertani sebagai mata pencaharian utama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sebagian besar masyarakat Kelurahan Akelamo Kecamatan Oba Tengah, juga membuat gula merah. Pembuatan gula merah tersebut merupakan pekerjaan turun temurun dan sudah menjadi sebuah kearifan budaya (Lokal wisdom).
Gula batu atau gula merah dari pohon enau (Seho) di kelurahan Akelamo sudah dikelolah warga sejak tahun 1982.
Diatas tanah bekas Perusahan Nusantara Perkebunan (PNP) ini, Faisal Karim (37) menyandarkan nasib keluarganya.
Tanaman seluas tiga hektar yang dikelolanya adalah milik ayahnya (Husain Ade) yang diwariskan sejak ia masih muda.
Dari warisan inilah Faisal dapat menafkahi istrinya beserta dua putra yang kian beranjak dewasa.
Setiap pagi, ketika fajar menyingsing, Faisal sudah bergegas untuk memanjat puluhan pohon Seho untuk mengambil air niranya.
Air nira, biasanya masyarakat menyebut nya dengan istilah 'Lahang', Kemudian di saring agar kotoran yang ada didalamnya tidak masuk ke tempat pembuatan gula, setelah proses penyaringan kemudian Lahang di masak menjadi gula batu atau gula merah.
Sungguh miris, kini aktivitas keseharianya membuat gula merah tinggal jadi kenangan, sejak perusahan PT Tidore Sejahtera Bersama mengambil alih lahan tersebut atas ijin pinjam pakai lahan dari Pemerintah Kota Tidore Kepulauan (Tikep).
Selasa, 21 Februari 2017, menjadi hari duka baginya. Bagana tidak, pagi itu Faisl yang warga Akelamo RT 02 ini, menyaksikan langsung alat berat excavator menari-nari diatas lahan Seho yang menjadi harapan hidup keluarganya.
"Di balakang (belakang-red) kantor camat itu saya pe tampa (tempat) mumasa (memasak) gula dan saya punya Seho itu juga sudah habis, tinggal barang satu badiri me so tarada (berdiri juga sudah tak ada)" Ratapnya.
Sambil berjalan, Faisal melanjutkan kisahnya, bahwa biasanya dalam satu bulan seduhan air nira jika sedikit dapat menghasilkan Rp 4 juta, namun jika air niranya banyak maka dirinya bisa dapat uang sampai Rp 7 juta.
Kini dirinya sangat kesulitan memenuhi sekolah anak-anaknya, buku pendidikan serta biaya sekolah kini harus bergantung pada tangkapan hasil laut yang terkadang menguras air mata.
Saat pertemuan dengan sejumlah anggota DPRD Kota Tidore Kepulauan pada Sabtu, 14 Oktober 2017, Faisal mengungkapkan kekesalannya atas sikap pemerintah kelurahan yang dianggap 'bafoya' (bohong) terhadap 18 pengguna lahan yang menandatangani surat pernyataan menyerahkan lahan garapannya kepada Pemerintah Kota Tikep, karena telah dijanjikan Rumah Hunian tipe 36 dengan harga Rp 300 juta untuk tiap kepala keluarga.
Selain itu, para pengguna lahan juga dijanjikan bahwa tanaman mereka tidak digusur. Karna Investasi PT Tidore Sejahtera Bersama berupa Kelapa Genja, hanya sebagai tanaman sela dalam kebun warga.
Namun kenyataannya, aktivitas perusahan berbanding terbalik dengan kesepakatan yang telah disepakati bersama pada pertemuan di gedung Borero kantor kecamatan hingga pertemuan berlanjut di rumah lurah Akelamo, sebelum keesokan harinya kebun tempat pengharapan hidup Faisal dan keluarga digusur.
Red