17 Tahun Halmahera Timur yang Ekstraktif

Editor: Redaksi
Masril Karim (Pegiat Toadore Studies)

Pada bulan Maret lalu, majalah tempo menerbitkan edisinya tentang kisruh proyek Menteri Agus. Tempo menulis, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto digugat ke polisi dengan tuduhan menipu dan menggelapkan uang perusahaan. Pengusaha properti ini pernah berkongsi dengan Pramono Anung (kini Menteri Sekertaris Kabinet) mengerjakan proyek pengerukan dan pengapalan biji nikel dari PT Aneka Tambang Tbk pada 2001-2014. Saling gugat mantan kolega bisnis itu menguak dugaan penggelembungan nilai proyek dengan keuntungan fantastis hingga Rp 2,9 triliun. Proyek itu juga meninggalkan kerusakan lingkuangan yang massif di Tanjung Buli, Halmahera Timur, Maluku Utara (lihat Tempo 28 Maret 2020).

Apa yang ditulis oleh majalah Tempo itu merupakan sebuah potret buram atas masalah pertamabangan yang terjadi di Maluku Utara, terutama di daratan Halamahera. Jika Anda ke Halamahera Timur, Anda akan melihat tanah-tanah digusur, mobil-mobil proyek pertambangan sedang mondar-mandir dan hutan-hutan digunduli, semua itu dilaksanakan atas nama pertambangan, sialnya, tambang-tambang tersebut adalah milik para politisi dan para bosisme yang berjejaring dengan melibatkan aktor-aktor lokal hingga ke pusat.

Oligarki pertambangan semakin subur setelah reformasi, jika pada orde baru oligarki bertumpuk pada kekuasaan Presiden Soeharto, artinya tidak ada oligarki lain muncul jika tidak mendapatkan persetujuan dari Presiden Soeharto, model itu oleh Profesor di Northwestern University, Jeffrey A.Winters sebut sebagai Oligarki Sultanistik. Setelah Soharto jatuh dari kekuasaanya selama 32 tahun model kekuasan berubah dari otoritarianisme ke demokrasi. Dan model oligarkipun berubah dari Sultanistik ke model baru yang juga oleh Winters sebut sebagai Oligarki Sipil. Orang menandai kejatuhan Soeharto itu dengan sebutan reformasi. Reformasi hadir dengan mengedepankan semangat demokratisasi dan otonomisasi sebagai penanda bahwa telah muncul era baru di Indonesia yang memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur diri sendiri (OTDA). Itulah model baru dalam era reformasi yang bertujuan untuk kesejaterhaan rakyatnya.

Tetapi sayang harapan berubah, reformasi akhirnya melahirkan ketimpangan antara pusat dan daerah, banyak melahirkan kesenjangan, bahkan ada yang tertinggal seperti Taliabu (Malut), Nias Utara (Sumut), Sumba Barat (NTT), Nabire dan daerah lain (lihat litbang Kompas, Senin, 1 Juni 2020), daerah akhirnya menjadi tempat bisnis bagi politisi pusat dan politisi lokal yang melibatkan para oligarki sebagai pendukung untuk memberikan sumber pendanaan saat maju sebagai calon Gubernur/Bupati/Walikota, selain pendanaan juga sebagai garantor (lobi-lobi) rekomendasi partai politik dengan kompensasi lahan pertambangan, karena partai politik juga oligarki dan mendapatkan rekomendasi mudah jika menggunakan jalur oligarki asal mendapatkan lahan pertambangan.

Para penguasa (politisi) lokal akhirnya menjadi pelayan bagi oligarki bukan untuk rakyat di daerahnya. Padahal Kepala daerah sebagai pemimpin tertinggi di daerah, sangatlah berperan penting dalam proses kehidupan dalam masyarakat. Peraturan-peraturan atau kebijakan-kebijakan yang di putuskan haruslah berorientasi pada kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat. Untuk melaksanakan dan menjalankan program-program yang telah ditetapkan dalam peraturan atau kebijakan. Bukan untuk melindungi oligarki.

Karena pelayanan pada oligarki akhirnya melahirkan praktek shadow state. Soal shadow state  disampaikan oleh Willian Reno (1995) atau lebih kongkrit Pemerintahan Bayangan biasanya akan hadir, tumbuh dan berkembang tatkala terjadi pelapukan fungsi pada institusi pemerintahan formal. Penyebabnya antara lain karena para elite penyelenggara pemerintah formal mengalami ketidakberdayaan kala berhadapan dengan kekuatan-kekatan sosial, ekonomi dan politik yang dominan berada diluar struktur pemerintahan formal. Konsekuensi adanya praktik shadow state ialah penyelenggaraan pemerintahan akan lebih banyak dikendalikan oleh otoritas diluar struktur pemerintahan dari pada otoritas formal dalam struktur pemerintahan (lihat Ismiati Nur Istiqomah, Shadow State, Bureaucracy, Informal Government).

Awal berkembangnya konsep shadow state memang hanya menyajikan mengenai fenomena ditingkat nasional. Meski demikian, kendati masih prematur Syarif Hidayat pada tahun 2002, telah mencoba melakukan investigasi tentang karakteristik dari Bisnis dan Politik di tingkat pemerintahan daerah. Berdasarkan hasil penelitiannya, yang dilakukan di Jawa Barat (Bandung Utara) menyebutkan pada tingkat realitas kebijakan otonomi daerah telah membuka peluang bagi perjuangan kepentingan individu elite penyelenggara pemerintahan daerah. Temuan ini, mengindikasikan sedikitnya ada tiga bentuk kepentingan individu elit pemerintah daerah, yaitu,  kepentingan ekonomi (seeking economic ends), kepentingan untuk pengembangan karir (career advancement), dan kepentingan untuk sponsor politik (political sponsorship). (lihat Syarif Hidayat, Bisnis dan Politik di Tingkat Lokal).

Itulah mengapa dalam proses pengambilan kebijakan oleh kepala daerah (elit/politis) selalu melahirkan kebijakan yang oleh Daron Acemoglu dan James A, Robinson menyebutnya sebagai kebijakan yang ekstraktif. Kebijakan ekstraktif ini adalah kebijakan yang keluarkan oleh para elit penguasa bukan untuk melindungi (mensejahterakan) masyarakatnya, tetapi untuk melindungi dan menguntungkan bisnis pribadi atau keluarga dan menghidupi kelompok-kelompoknya. Jika ekstraktif politik terjadi maka akan muncul juga ekstraktif ekonomi, dan bila itu terjadi maka akan melahirkan kegagalan negara atau dalam tingkat lokal adalah daerah.

Lahan-lahan pertambangan yang berada di Halmahera terutama Halmahera Timur adalah bukti lahirnya kebijakan yang ekstraktif. Lahan pertamabangan itu harus dilihat sebagai ancaman untuk daerah bukan sebagai peluang, lahan pertambangan yang hadir itu seakan-akan membicarakan kesejahteraan rakyat tetapi yang terjadi justeru meninggalkan ancaman lingkungan yang akan menyebabkan kematian manusia, atau dalam istilah Elizabet Kolbert sebagai kepunahan ke enam (the sixth extinction) yang ditandai dengan kematian Sapiens.

Di hari ulang tahun Halmahera Timur yang ke 17, harusnya kita merefleksikan dan membicarakan serius soal visi “Kenapa mesti Halmahera Timur hadir?” dan akhirnya melahirkan kebijakan yang ekstraktif untuk oligarki pertambangan dan seakan membiarkan daerah ini runtuh diatas lahan-lahan pertambangan. Karena itu saya menganggap 17 tahun Halmahera Timur adalah 17 Halmahera Timur yang ekstraktif.

Penulis ; Masril Karim

Share:
Komentar

Terbaru