Isra Muksin
“Untuk saat ini belum relevan Karena jika Otsus apa yang harus dikhususkan untuk dijadikan dasar perjuangan sekaligus dasar penyelenggaraan pemerintahan karena masyarakat kita heterogen dengan kultur yang berbeda-beda?"
“Pada prinsipnya tuntutan elit Malut agar Otsus perlu dipertanyakan apa motivasinya, apakah dengan desentralisasi atau otonomi daerah yang sekarang berlangsung tidak cukup untuk menyelesaikan problem maysarakat?” kata Isra kepada malut.id, Kamis 9 Oktober 2019, kemarin.
Menurut Isra, otonomi daerah saja sudah cukup bagi pemerintah daerah, namun semua itu bergantun komitmen kolektif agar bisa menyelesaikan problem mendasar masyarakat kita.
“Jangan karena kesalahan kita melaksanakan tata kelola pemerintahan lalu mau menuntut agar kita diberikan Otsus,” tegas Isra.
Selain itu, patut dipertanyakan juga jika Otsus bagaimana sistem politiknya sehingga kita layak mendapat Otsus?
Otsus, menurut Isra, memiliki kelemahan tersendiri. Kelemahan itu ada pada kelembagaan daerah karena salah satu kelebihan Otsus adalah soal saking banyaknya dana Otsus dari pemerintah pusat.
“Jika orientasi elit memperjuankan Otsus karena soal nantinya mendapat kucuran banyak anggaran dari pemerintah pusat maka sangat disayangkan,” imbuhnya.
Otsus Malut atau DOB?
Isra meminta agar seluruh elit sebaiknya mendukung DOB (Daerah Otonomi Baru), Sofifi karena sifatnya mendesak. DOB Sofifi dinilai lebih penting untuk memkasimalkan pelayanan publik.
Terkait dengan DOB Sofifi, Isra menyarankan kepada Gubernur agar merevisi Rencana Pergub tentang wilayah Kota Sofifi yang hanya sampai di Gita, harus diubah sampai ke desa Nuku.
Karena secara historis Kecamatan Oba adalah kecamatan induk yang melahirkan Oba Utara, Oba Tengah dan Oba Selatan. Namun kemudian dalam Ranpergub tersebut tidak memasukkan Kecamatan Oba secara keseluruhan dan Oba Selatan.
“Ini soal kelemahan penyelenggaraan birokrasi pemerintahan dalam mengimplementasikan UU 46 tahun 1999,” ucap Isra.
Isra menambahkan, kelemahan dalam penyelenggaraan pemerintahan Malut adalah tidak melakukan inovasi sehingga seluruh kebutuhan bergantung kepada pemerintah pusat. Ketika dipenuhi penggunaannya malah tidak tepat sasaran.
“Harusnya dengan otonomi daerah ini ketimpangan sosial bisa diselesaikan, namun karena komitmen semua pihak belum sepenuhnya dilaksanakan. Problem lain adalah, aktor birokrat kita sangat elitis sehingga pengelolaan APBD tidak pada tempatnya,” tutupnya.
Red