Spanduk dan Baliho dari Pihak Pro dan Kontra di Tomalaou |
Hal itu nampak melalui terpasangnya spanduk dan baliho dari pihak pro dan kontra, yang bertebaran di sepanjang jalan kampung nelayan tersebut.
Iksan Lukman, Lurah Tomalou kepada Malut.id, Sabtu 19 Oktober 2019, ungkapkan bahwa baliho tersebut dipasang oleh kelompok Garaki Gam Tomalou. "Memang mereka yang kasi naik itu (baliho). Dari AMAN juga ada. Jadi memang ini perang opini," ujar Iksan.
Kendati demikian, kata dia, situasi di Tomalou terjamin kondusif. "Masih baik-baik saja. Tapi saya rencana mau bertemu dua kelompok ini (Garaki Gam Tomalou dan tim AMAN Jilid II) untuk cari solusinya bagaimana," tuturnya.
Dia mengaku, sejak awal baliho Garaki Gam Tomalou berkibar, sempat memantik tekanan dari pihak tim AMAN.
"Tapi tidak lama setelah itu, mereka sendiri bilang, 'biarkan saja. Tidak apa-apa'. Makanya kita mau bikin dialog terbuka," ujarnya.
Ketua Komunitas Garaki Gam Tomalou, Fadh Soleman, mencoba merunut dinamika yang terjadi saat ini. Di mana, rakyat seakan dilarang mengeluarkan pendapat di muka umum. "Seperti muncul istilah-istilah demokrasi dibungkam itu kan," katanya.
Berangkat dari fenomena itulah, kata Fadh, Garaki Gam Tomalou hadir membuat sebuah perlawanan dalam bentuk baliho tersebut.
"Karena belakangan ini tidak ada yang istilahnya melawan pemerintah dalam bentuk kritik, jadi fenomena ini (soal baliho di Tomalou) bisa dibilang baru pertama kali," tuturnya.
Menurut dia, pemasangan baliho bukan tanpa alasan. Apalagi ini sudah tertuang dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1999, tentang hak mengeluarkan pendapat itu. "Dan ini salah satu bentuk dari penjabaran undang-undang itu," tandasnya.
"Jadi kalau ada yang panik, ya wajar. Karena petahana ingin bertarung kembali di periode berikut. Dan itu saya lihat bukan hanya di Tidore saja, beberapa daerah lain juga pernah bikin hal yang sama," tutur Fadh menambahkan.
Ia menegaskan, pemasangan baliho murni dari hati nurani masyarakat.
"Jadi kita mau tunjukkan bahwa selama ini akal sehat kita dibelenggu atau dikebiri," ujarnya.
Bahkan, lanjut dia, jika ada tuduhan-tuduhan yang menyebut gerakan ini ditunggangi, itu tidak benar.
"Mau dari pihak manapun, partai politik manapun, atau dari kandidat siapapun, itu tidak ada. Tidak benar! Ini murni dari Garaki Gam Tomalou," ujarnya.
Dikatakan Fadh, hal ini sebagai sebuah pembuktian. Karena selama ini mereka hanya diam. "Jadi kami coba bangkit dan melawan. Ini sebenarnya jalan Amar Ma'ruf Nahi Munkar," tandasnya.
Namun di tengah baliho dari Komunitas Garaki Gam Tomalou, terdapat baliho pro AMAN Jilid II. Lagi-lagi, Fadh menganggap itu hal yang wajar. "Itu reaksi kepanikan saja," tandasnya.
"Entah itu dari tim sukses atau petahana sendiri. Jadi begitulah fenomena demokrasi. Pasti ada yang panik ketika akal sehat atau akal waras bereaksi. Maka dalam tanda kutip, kurang sehat atau apalah, pasti ada yang panik," bebernya.
Lantas apa yang belum dipenuhi semasa pemerintahan AMAN Jilid I di mata masyarakat Tomalou? menurut Fadh, terdapat seribu satu macam masalah. "Yang paling urgent banyak. Kalau kita sebut satu, itu tidak relevan. Karena platform yang dibangun semasa kampanye sampai pelantikan tidak pernah tercapai," ucapnya.
Ingatan Fadh melayang ke tahun 2015 silam ketika ditanya poin kampanye AMAN Jilid I yang belum dirasa warga Tomalou sampai hari ini.
Kala itu, Fadh bercerita, di depan sebuah masjid, Walikota Ali Ibrahim, dalam narasinya mengungkapkan bahwa nelayan Tomalou sangat terkenal hingga di luar provinsi. "Memang saat itu kejayaan nelayan Tomalou paling nampak," aku Fadh.
Kemudian, terdapat Koperasi Unit Desa (KUD) Pelita Hidayah yang masih di masa kejayaannya. Namun seiring masa pemerintahan, performa KUD menurun. "Sekarang sudah macet. Nelayan dan KUD-nya mati. Masyarakat entah mau beralih ke petani atau nelayan. Bingung," ucapnya.
"Jadi dia (Ali Ibrahim) bilang, 'kalau rahmat ini dapat ke saya (sebagai walikota) dan Muhammad Sinen sebagai wakil walikota, maka saya pastikan, dalam 2 tahun ke depan, KUD akan bangkit dan nelayan Tomalou akan makmur'," tutur Fadh menirukan ucapan Ali Ibrahim kala itu. "Itu satu kebohongan," tandas Fadh.
Dari situ, Fadh mengaku bingung dengan konsep Agromarine yang digagas Ali Ibrahim dan Muhammad Sinen di masa pemerintahannya. "Jadi sebenarnya apa yang paling vital dari konsep Agromarine itu. Ini bohong semua," ucapnya.
Lalu, apakah sikap kontra berlaku menyeluruh? Fadh katakan, justru Garaki Gam Tomalou sebagai corong penggerak masyarakat. Ia mengaku telah melakukan survei lintas rukun warga (RW). "Sekitar 70 persen - 80 persen menolak AMAN," ungkapnya.
Ia menjelaskan, jumlah tenaga honorer dan pegawai negeri sipil (PNS) di Tomalou tak seberapa. Mereka, kata Fadh, dijadikan petahana sebagai 'senjata' untuk mendobrak. "Tapi saya pikir itu tidak mudah. Sekarang kami gencar membangun opini. Bahkan kita mau bikin baju bertuliskan 2020 ganti walikota dan wakil walikota," ucapnya.
Menanyakan bagaimana jika pihak petahana mau membuka ruang diskusi, dengan maksud menakar unek-unek warga Tomalou, Fadh mengaku bersedia. "Tapi dengan catatan, diskusi itu tidak membungkus kebohongan yang mereka ciptakan selama ini," tuturnya.
Sementara, Ketua Pemuda Kelurahan Tomalou, Abdullah Dahlan, mengatakan persoalan ini sangatlah relatif. Sebab semua tergantung sudut pandang setiap orang dengan latar belakang kepentingan masing-masing atau kelompok.
Menurut dia, dalam momentum demokrasi, dinamika seperti ini adalah hal yang biasa. Tetapi yang terpenting, semua pihak memiliki kesadaran politik yang tinggi. "Di situ pointnya," tandas Abdullah.
Persoalan membuka ruang dialog, kata dia, warga Tomalou adalah masyarakat yang dinamis dan dialogis. Ia menilai, ruang-ruang komunikasi di tengah masyarakat Tomalou tidak mengalami penyumbatan. Hanya saja, beda kepentingan dan pilihan-lah yang memunculkan dinamika tersebut.
Lantas mengapa hal ini lebih menonjol dan terbuka di Tomalou dibanding wilayah lain? Menurut Abdullah, dari sisi politik, masyarakat Tomalou sangat terbuka, baik dari cara pandang maupun berpikir.
"Makanya muncul banyak perbedaan sikap dan pilihan politik, termasuk cara bertindak mereka. Perbedaan seperti ini hal yang wajar dalam kehidupan demokrasi. Dan wabilkhusus di Tomalou. Jadi perbedaan politik semacam ini bukan hal yang baru," tuturnya.
Ia mengaku melihat banyak hal yang melatari itu, sehingga menyebabkan masyarakat Tomalou melakukan gerakan politik melalui baliho tersebut. "Sebut saja dari sisi pemerataan pembangunan yang belum adil," katanya.
"Anda bisa lihat sendiri pembangunan di kampung ini. Sejak dulu, lebih banyak swadaya masyarakatnya dibanding perhatian pemerintah. Makanya, mengapa masyarakat harus mengadakan alat berat, membangun jalan sendiri, setapak sendiri dan lainnya," tutur Abdullah.
Faktor lain, lanjut dia, adalah distribusi Sumber Daya Manusia (SDM) di birokrasi yang terkesan masih tebang pilih oleh penguasa. "Hal ini juga menjadi wacana aktual di kampung kami," ungkapnya.
Abdullah mengakui, SDM di Tomlaou cukup banyak. Mereka memiliki latar belakang disiplin ilmu yang beragam. Sehingga, dinamika politik seperti ini bukan propaganda dari luar. Tapi lebih pada silang kepentingan dan keberpihakan yang berbeda-beda itu.
"Tapi jangan Anda tanya kekompakan warga Tomalou dari aspek keagamaan dan gerakan sosial-ekonomi, itu sangat erat sekali di sini," terangnya.
Tak terlepas dari wacana ini, menurut dia, para elit politik maupun tim sukses perlu memberi contoh berpolitik yang santun dengan cara-cara beretika dan pantas. "Jauhi kampanye hitam, politik uang, adu domba, serta tindakan negatif lainnya," saran Abdullah.
"Karena tanggungjawab merekalah untuk menjaga momentum demokrasi saat ini, sebagai fondasi bagi masa depan daerah ini yang lebih baik," jelasnya.
Dia berharap, ke depan Tidore harus membangun budaya yang telah lama ditinggal para pendahulu. Karena banyak nilai elok yang bisa digali, untuk diimplementasikan secara konkrit dalam kehidupan bermasyarakat. "Di daerah kesultanan ini," ucapnya.
Malut.id mencoba menghubungi tiga nomor kontak milik bakal calon petahana Wakil Walikota Tidore Kepulauan, Muhammad Sinen. Namun tidak terhubung. Panggilan yang dituju di luar jangkauan.
Ketua Dewan Pengurus Cabang Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Kota Tidore Kepulauan, Ahmad Laiman, mengaku tidak tahu-menahu adanya perang baliho di Kelurahan Tomalou.
"Saya kurang paham juga soal itu (perang baliho). Soalnya saya juga belum lihat itu baliho. Hehe," tuturnya.
Menurut dia, karena belum ada rekomendasi terhadap para calon, sehingga tidak ada gerakan yang terakomodir oleh partai. "Jadi persoalan itu kami tidak tahu sama sekali," katanya.
Ahmad mempertanyakan, baliho yang menyebut tahun 2020 pilih walikota dan wakil walikota baru, berangkat dari persepsi siapa? "Itu (kesan mengajak) persepsi Anda atau siapa? Karena semua orang punya perspesi yang berbeda-beda," tandasnya.
Ia menilai, tidak boleh serta-merta menyebut bunyi kalimat pada baliho tersebut bersifat ajakan. "Karena kesan mengajak itu siapa yang beri kesan. Dari mana Anda tahu bahwa kesannya begitu?. Kalau kesan seperti itu diungkapkan oleh kelompok gerakan, tanya ke mereka saja," saran Ahmad.
Kembali Ahamd meminta pendapat. "Kalau Anda sendiri, bagaimana kesan Anda terhadap mereka (warga Tomalou) ? Sebab kalau kesan mengajak demi kebaikan, berdemokrasi yang baik, bagus itu. Kalau kesan dari baliho, baliho tidak bisa berbicara. Yang bicara kan kita," tuturnya.
Yang pasti, lanjut dia, tahun 2020 adalah hajatan memilih walikota dan wakil wakil walikota yang baru. Kalau pun orang yang sama (petahana) terpilih kembali, itu tergantung masyarakat.
"Kalau kesannya ya positif saja. Sepanjang jurnalis punya pandangan positif, pasti semua orang yang berakal sehat punya pandangan positif," ungkapnya.
Menanggapi hal itu, Pengamat politik Maluku Utara, Helmi Alhadar, mengatakan alat peraga menjadi alat yang dibutuhkan oleh para kontestan politik.
Namun dari situ, kata Helmi, banyak hal yang bisa menjadi masalah. "Tergantung dari konteks di daerah dan pertentangan diantara para calon," katanya.
Sebab, menurut dia, situasi kampanye kerap membawa hawa panas. Apalagi jika persaingan sudah sangat subjektif. "Jadi pada intinya, masalah dan tidaknya tergantung soal budaya di masyaraka setempat. Termasuk persaingan politik di antara para bakal calon," ungkapnya.
Helmi menilai, dalam setiap pesta demokrasi, motifnya selalu dalam bentuk propaganda. Tujuannya untuk menarik perhatian masyarakat, sekaligus sebagai bentuk perang urat syaraf.
Mestinya, menurut dia, para elit mampu membangun kesadaran tentang pentingnya pemilu yang damai dan demokratis, dengan menghargai pilihan masing-masing
"Toh ini kan cuma hajatan demokrasi lima tahunan. Jadi sudah seharusnya kita memperhatikan standar budaya kampanye yang berlaku di wilayah setempat," tutup kandidat doktor Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung ini.
(Noer)