Perokok Remaja Indonesia Meningkat, Aliyah Dowora Galakan Upaya Preventif

Editor: Redaksi
Co Analyzer untuk mengukur kadar karbon monogksida dalam tubuh
TIDORE, M.id, – Perokok usia remaja di Indonesia kian mengkhawatirkan. Hasil screening dan konseling di Madrasah Aliyah Dowora membuktikan semua lingkungan termasuk sekolah harus mengambil langkah preventif sejak dini untuk menekan dan mengendalikan tingginya perokok di usia remaja.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Kementerian Kesehatan 2013 tercatat sebesar 7,2 persen, lalu meningkat menjadi 8,8 persen dalam Riskesdas 2016. Persentase itu melonjak menjadi 9,1 persen pada Riskesdas 2018 yang dirilis Mei lalu. Angka tersebut diprediksi akan semakin bertambah jika pemerintah daerah tidak bergerak mengendalikan aktivitas tersebut.

Pemerintah Kota Tidore Kepulauan, melalui Dinas Kesehatan dan Forum Studi Perempuan (FOSPAR), bekerja sama mengambil langkah  preventif dengan melakukan screening dan konseling di Madrasah Aliyah Dowora, Rabu 25 September 2019.

"Selain mencanangkan Kawasan Tanpa Rokok, screening kami lakukan menggunakan Co Analyzer untuk mengukur kadar karbon monogksida dalam tubuh. Pelajar wajib meniupkan nafasnya pada alat tersebut," kata Direktur FOSPAR, Harinda Usman, kepada malut.co, saat ditemui usai kegiatan.

Dari hasil screening terhadap 29 siswa, terdapat 5 siswa perokok aktif, 18 siswa terpapar asap rokok, dan 6 orang siswa lainnya pernah merokok.

Hadinda menjelaskan, terdapat tiga kaetgori berdasarkan hasil, yakni batas normal sebanyak 26 siswa, semantara 3 siswa masuk dalam kategori peringatan, sedangkan katagori nikotinnya meningkat dinyatakan tidak ada.

"Baiknya, angka dibawah enam. Rentang tujuh hingga sepuluh masuk kategori ringan. Rentang sebelas hingga 20 kategori sedang. Di atasnya, masuk kategori berat" unkapnya.

Hadinda mengatakan, siswa perokok aktif dan yang pernah merokok tetap diberikan konseling. Ia mencatat sebanyak 11 siswa  harus diberikan konseling.

"Yang wajib memberikan konseling oleh Guru Bimbingan Konseling yang pernah mengikuti pelatihan Konseling UBM (Upaya Berhenti Merokok)," jelas Hadinda yang juga merupakan Guru Pembimbing Konseling.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas Kesehatan Kota Tikep, dr. Abdullah Maradjabessi, menjelaskan, alat yang digunakan hanya mendeteksi kandungan CO dalam paru-paru, bukan menentukan perokok atau tidak perokok. Dengan kata lain, mereka yang tidak merokok bisa juga memiliki kandungan CO yang tinggi.

"Kandungan CO bukan hanya dari rokok. Bisa juga berasal dari hal lain. Namun, mereka yang merokok tentu tercatat memiliki kandungan CO yang tinggi. Pemeriksaan ini sengaja dilakukan agar remaja bisa berfikir terbuka. Harapannya, tersadar dan berupaya menghentikan kebiasaan merokok. Sebaliknya, bagi yang tidak merokok dapat lebih berhati-hati ke depannya," tutupnya.

Secara terpisah, Psikolog Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Saiful Bahri berpendapat, meningkatnya perokok remaja disebabkan oleh beberapa faktor. "Dari aspek psikologi, lingkungan pergaulan teman sebaya di rumah, faktor stres di sekolah, relasi dengan orang tua, hingga faktor ekonomi karena murahnya harga  rokok," ucapnya.

Saiful menjelaskan, secara psikologi relasi antara orang tua dan anak, termasuk lingkungan sekolah membuat anak menjadi stres. "Misalnya mata pelajaran yang monoton dan tugas-tugas yang sifatnya statis dari semester ke semester, itu juga membuat para remaja tersebut stres. Akibatnya, mereka loncat pagar, dan merokok di luar," katanya.

Menurut Saiful, secara psikologis kemasan iklan rokok yang dibuat  sangat menarik dapat menimbulkan daya tarik sosial para remaja untuk mencoba.

(Ir)
Share:
Komentar

Terbaru