Aktifitas Pertambangan/ Foto Istimewa Sumber : Google |
Ternate, M.id - Kepala Bank Indonesia (BI) Perwakilan Maluku Utara (Malut), Gatot Miftahul Manan, mengaku selama ini share pertambangan masih cukup besar. Sektor pertanian, perikanan dan pariwisata belum terkelolah secara maksimal.
"Jadi sebaiknya kita harus memiliki visi jangka panjang. Kita tidak boleh bergantung pada komoditas (tambang) yang tidak berkesinambungan " kata Gatot kepada Malut.id di Ternate, Sabtu 24 Agustus 2019.
Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik, nilai ekspor Malut pada Mei 2019 sebesar US$ 76,34 juta, atau naik 23,51 persen dibanding April senilai US$ 61,81 juta.
Sementara pada Januari - Mei 2019 sebesar US$ 307,92 juta. Jumlah ini meningkat 27,62 persen dibandingkan periode Januari - Mei 2018 yang sebesar US$ 241,29 juta.
Ekspor Malut pada Mei berupa golongan barang bijih, kerak, dan abu logam dengan negara tujuan Tiongkok dan Ukraina. Sedangkan bijih besi dan baja ke Tiongkok dan Korea Selatan.
Secara kumulatif, volume ekspor Malut untuk Januari - Mei 2019 sebesar 4.950,01 ribu ton, atau meningkat 21,43 persen dibanding tahun sebelumnya di periode yang sama, yakni sebesar 4.076,47 ribu ton.
Capaian ekspor tersebut terkonfirmasi melalui Rilis JATAM (Jaringan Anti Tambang) Maret 2019, yang mencatat 313 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas konsesi mencapai lebih dari 1 juta hektar.
Konsesi pertambangan tersebut berada di pulau besar seperti Halmahera dan pulau-pulau kecil, mulai dari pulau Pakal, Mabuli, dan Gee di Halmahera Timur, pulau Gebe di di Halmahera Tengah, dan Pulau Obi di Kabupaten Halmahera Selatan.
Selain izin pertambangan, Maluku Utara saat ini tengah berhadapan dengan ekspansi industri kelapa sawit di Gane, Halmahera Selatan, yaitu PT. Korindo melalui anak usahanya PT. GMM, dan Patani (PT. MRS), Halmahera Tengah, serta Hak Penguasaan Hutan (HPH) di Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Halmahera Utara, Halmahera Selatan dan Pulau Obi, juga Hutan Tanaman Industri (HTI).
Kondisi tersebut mengakibatkan tiga sektor potensial seperti pertanian, perikanan, dan pariwisata belum menjadi unggulan ekspor Maluku Utara.
Terkait maksimalisasi sektor Pertanian, Belum lama ini BI telah membicarakan perihal tersebut dengan Kementerian Koperasi, Asosiasi Kopra, serta beberapa perusahaan tambang yang memiliki Corporate Social Responsibility (CSR) pada produk kopra.
"Intinya BI ingin membicarakan hal ini lebih komprehensif antar instansi, agar langkah yang akan diambil sudah memasukan pertimbangan 350 derajat dari semua sisi," ucap Gatot.
Secara terpisah, Kepala Divisi Hasil Ekspor Tambang Bank Indonesia, Dwi Tugas Waluyanto, kepada Malut.id, memiliki pandangan yang sama dengan koleganya.
"Malut harus fokus pada 3 sektor (pertanian, perikanan, dan pariwisata) tersebut. Kalau kita mengandalkan pertambangan, tidak inklusif," ucapnya.
Hasil pertambangan, tambah Dwi, dinikmati oleh sedikit orang. Sementara, BI sendiri menginginkan pertumbuhan ekonomi yang lebih sehat.
"Artinya masyarakat lebih banyak menikmati. Katakanlah kita fokus ke pertanian, tentu banyak sekali petani-petani yang kita tingkatkan kesejahteraannya. Apalagi masyarakat di Malut didominasi petani," tuturnya.
Menurut Dwi, sebagian besar petani di Malut bergerak pada produksi tanaman keras. Sedangkan tanaman keras usianya sudah tua. Sementara, biaya produksi tergolong tinggi.
"Katakanlah kelapa, untuk manjat pohonnya itu butuh kajian. Misalnya 5.000 (buah) untuk berapa pohon. Tapi yang paling penting itu hilirisasinya, sehingga nilai tambah yang diperoleh petani kelapa ini lebih tinggi," ucapnya.
Namun sejauh ini, lahan petani terus dikuasai. Lantaran terbuai iming-iming uang, banyak warga yang menjual tanahnya. Sementara, pemerintah sebagai otoritas pengendali penguasaan lahan belum dirasakan kehadirannya. Alih-alih memberikan nilai tambah ekonomi, tapi ekspansi ini justru secara struktural cenderung memarjinalkan masyarakat.
Maksud mendorong investasi dengan orientasi utama untuk pendapatan daerah, tapi banyak terjadi pemiskinan. Baik secara struktural maupun kultural. Karena sejauh ini, pembangunan berbasis penggusuran lahan pertanian dengan konsep pertambangan dan perkebunan masih terus terjadi.
Dwi menyadari hal itu. Sehingga ia berharap pengaturan dan pengawasan lahan lebih diperhatikan. "Rencana Tata Ruang Wilayah harus pasti," tandasnya.
"Harus ada kepastian bahwa lahan ini untuk pertanian, (lahan) ini untuk pertambangan. Harus betul-betul dijaga. Apalagi daerah kita adalah daerah kepulauan," tambahnya.
Menurut dia, untuk sektor pertambangan tanpa didorong pun bakal berkembang sendiri. Namun ini berbeda dengan pertanian.
"Jadi ini yang harus kita dorong. Karena saat ini jumlah petani kita semakin berkurang. Profesi petani dianggap tidak menarik lagi," katanya.
Dari sini, Dwi tegaskan bahwa Malut tidak boleh lagi bergantung pada provinsi lain. Malut harus mandiri. "Saya optimis, suatu saat kita bisa swasembada, bahkan bisa memasok ke daerah lain. Apalagi tanah kita luas dan subur," katanya.
Menurut dia, jika hal ini ditunjang dengan teknologi, maka sektor pertanian bakal paling diminati kaum muda. "Sektor pertanian jadi keren, anak muda bisa gemar bertani. Saya kemarin ke Halbar (Halmahera Barat), itu banyak petani-petani milaneal," akunya.
Gatot menambahkan, sektor perikanan misalnya, harus melihat apa yang paling potensial untuk dikembangkan. Antara lain, ikan yang diolah untuk komoditas ekspor.
"Ini sudah dilakukan oleh kepala BI sebelumnya, yaitu ekspor ikan tuna. Ini akan kita jaga kualitasnya, sebab ini hal terpenting dalam perikanan," tuturnya.
Di sektor pariwisata, bagi Gatot, akan melibatkan banyak pihak. Tentu dibutuhkan kerjasama lintas instansi. Baik dinas kebudayaan, pariwisata, hingga perhubungan.
"Kerja sama ini untuk menjaga konsistensi dari acara yang berbau seni dan budaya," katanya.
Menyentil soal jatuhnya harga kopra di Malut, Gatot katakan bahwa, kelapa tidak bisa mengandalkan penjualan yang bersifat hulu atau relatif dijual mentah.
"Karena produk turunan kelapa sangat banyak. Jadi yang harus dilakukan adalah proses bisnis dengan turunan dari industrinya," katanya.
Menurut Gatot, kelapa tidak bisa diandalkan hanya dari kopra, karena komoditi ini banyak memiliki produk turunan. Sehingga, harus melibatkan sisi industri pengelolaan yang lebih maju.
"Misalnya dibuat jadi tepung kelapa dan lain-lain. Prinsipnya untuk menghindari produk yang bersifat primer, maka harus dalam bentuk olahan," ujarnya.
Kendati begitu, semua harus dilakukan secara bertahap. Sebab selama ini pengolahannya cenderung tradisional. "Tentu ini tidak bisa menjadi sangat advance industry," katanya.
"Di sini kami juga harus berhati-hati dalam memberikan rekomendasi. Jadi lebih baik langkahnya step by step, biar langkah kecil tapi implementatif," kata Gatot menambahkan.
Menanyakan strategi BI untuk menjadi penghubung antara produk kopra dengan pasaran global, Gatot masih sungut-sungut. "Masih banyak yang mau kita bicarakan, mendiskusikan dengan banyak pihak," katanya.
(Jana)