Politik Kaum Arkhe

Editor: Redaksi
Penulis; Masril Karim
Judul Buku : Disensus (Demokrasi sebagai perselisihan menurut Jacques Ranciere)
Penulis : Sri Indiyastutik (Tuti)
Penerbit : Kompas
Cetakan : Pertama 2019

Beberapa minggu lalu Komunitas Salihara melakukan diskusi buku yang bagi saya cukup menarik utnuk dimiliki, dan beruntung saya telah mendapatkan buku tersebut di tokoh buku Gramedia, buku itu berjudul “Disensus”.

Buku “Disensus” yang diterbitkan oleh penerbit Kompas Gramedia ini sebetulnya adalah hasil tesis dari Sri Indiyastutik (Tuti) mahasiswa Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Diryakara yang berhasil membawa pemikiran Filsafat Politik Jecques Ranciere.

Joques Ranciere adalah seorang pemikir filsafat dari Prancis berkelahiran Aljazair (190-Sekaran). Ranciere dikenal sebagai seorang pemikir filsafat politik, Pendidikan dan seni. Selain itu Ranciere dianggap sebagai pemikir yang paling konsisten dengan gagasan-gagasanya, terutama gagasanya tentang kesetaraan pada setiap orang dan dengan semua orang, ia mampu memberikan sebuah konsepesi untuk meletakan kesetaraan akal budi sebagai pengandaian (pra-anggapan) dalam memandang hubungan antar manusia.

Sebagai seorang pemikir Ranciere mulai dikenal luas terutama pada kalangan pemikir berbahasa Inggris pada tahun 2000an dengan bukunya yang berjudul Disagreement: Politics and Philosophhy mulai diterbitkan dalam Bahasa Inggris pada tahun 1999. Ranciere merupakan murid dari seorang pemikir Marxis yang cukup terkenal yaitu Louis Althusser (1918-1990). Ranciere juga aktif di persatuan mahasiswa komunis dan aktif melakukan penelitian di serikat-serikat buruh di Paris selama sepuluh tahun. Ranciere termasuk mahasiswa (murid) murid yang sangat dekat secara Intelektual dengan Althusser, kedekatan ini dapat dilihat dengan karyanya berjudul Lire le capital (Reading Capital) pada tahun 1965 yang merupakan proyek bersamnya dengan Althusser dimana Ranciere menjadi co-author beserta murid Althusser lainya.
***
Lewat buku ini, Tuti berhasil menguaraikan gagasan inti dari Ranciere tentang politik dan bukan politik, yang berangkat dari pertanyaan besarnya,  Mengapa dominasi elite langgeng dalam tatanan kehidupan masyarakat demokratis yang mengecewakan kesetaraan?
Titik berangkat pemikirian Ranciere dimulai dengan pengertian the wrong dan kesetaraan. Tuti menerjemahkan gagasan Ranciere tentang the wrong ke dalam Bahasa Indonesia menjadi yang salah.

Menurut Tuti, mereka adalah orang-orang yang menjadi bagian dari tatanan sosial tetapi selalu dianggap tidak ada dalam tatanan soosial.
Ranciere memprsoalakan cara pandang yang membagi tatanan sosial yang berdasarkan pada tempat, fungsi, bakat, garis keturunan dan kepakaran. Ranciere lalu mempertegaskan bahwa diluar pembagian tersebut selalu ada orang yang tidak dianggap karena tidak memiliki kulaifikasi tersebut.

Mereka selalu dianggap tidak ada, tidak terhitug, tidak terlihat, jika mereka terlihat, mereka selalu dianggap sebagai kelompok yang akan mengganggu tatanan sosial yang telah mapan, orang-orang seperti ini dalam pemikiran Ranciere disebut sebagai the wrong. Orang-orang yang dianggap ada atau Ranciere menyebutnya sebagai bagian yang dihitung adalah mereka yang memiliki kelayakan untuk dihitung sebagai bagian dari tatanan sosial.

Lalu kelayakan seperti apa yang dimaksudkan oleh Ranciere?

Menurut Ranciere, kelompok yang dihitung adalah mereka yang menempati bagian-bagian dalam tatanan sosial dimana masing-masing memiliki peran yang dipandang berguna, sementara yang salah adalah mereka yang dianggap tidak memiliki kualifikasi apapun yang dapat dijadikan ukuran untuk menjadi bagian dari msyarkat, yaitu yang berguna dan yang adil dalam tatanan sosial. Keberadaan yang salah diantara tatanan sosial adalah sebuah kesalahan. Ranciere menyebut yang salah sebagai  bukan bagian yang nyata dalam tubuh sosial.

Inti dari pemikiran Politik Ranciere adalah mendasarkan pada pengandaian kesetraan.
Ranciere memandang bahwa yang salah memiliki tempat dan kedudukan yang setara dengan orang-orang lain di dalam tatanan sosial. Mereka adalah bagian dari tatanan sosial. Namun, cara pandang manusia terhadap kehidupan bersama adalah menata dan membagi-bagi dimana selalu ada bagian yang tidak perlu dihitung.

Tatanan masyarakat seolah-olah terpilah-pilah, dimana masing-masing dipisahkan oleh partisi-partisi berdasarkan kegunaan, peran, keningratan, kepakaran, kekayaan, dan yang terlahir lebih dulu alias lebih tua atau lebih senior, tatanan masyarakat yang dibuat demikian berdasarkan pengalaman indrawi.

Ranciere memaknai pembagian-pembagian dalam tatanan masyarakat yang berdasarakan persepsi indrawi ini sebagai tatanan atas dasar arkhe.

Arkhe adalah sebuah prinsip dasar, sebuah permulaan dan perintah yang menentukan pembagian-pembagian, hierarki, peran dan kewenangan kelompok-kelompok didalam tatanan masyarakat. Kehidupan masyarakat yang di tata dan berjalan berdasarkan prinsip tersebut, yang oleh Ranciere sebut sebagai tatanan sosial (police). Ia mengkritik segala bentuk tatanan masyarakat yang berdasarkan pada arkhe, misalnya sebagai tampak dalam cara-cara melegitimasikan kekuasaan atas dasar keturunan, kepakaran, keningratan dan kekayaan. Karakter tatanan sosial adalah tidak memberikan tempat kepada kelompok-kelompok yang tidak masuk dalam hitungan. Keberadaan mereka dianggap memngganggu harmoni tatanan sosial sehingga disebut dan ditempatkan sebagai yang salah.

Selain itu, Ranciere menyebut yang salah sebagai demos. Pengertian ini berbeda dengan pemahaman umum yang mengartikan demos sebagai rakyat yang berdaulat.

Demos yang Ranciere maksudkan juga bukan dalam pengertian Yunani klasik, yaitu rakyat terdidik dan ningrat, dimana perempuan, anak-anak para pedang, dan para budak tidak dimasukan ke dalamnya.

Menurut Ranciere demos adalah bagian dari orang-orang kebanyakan (people) yang melakukan verifikasi kesetaraan didalam tatanan sosial dominan. Oleh tatanan sosial dominan, demos dianggap tidak memiliki kualifikasi apapun untuk memimpin atau memerintah.

Demos adalah orang-orang (people) yang menjadi suplemen (tambahan) pada bagian dari komunitas, Ia menyebutnya sebagai yang dihitung dari semula tidak diperhitungkan yang berlwanan dengan segala bentuk kualifikasi untuk memerintah. Ranciere menyebut istilah people, mengandung dua pengertian yang berbeda, pertama, etnos, yaitu orang-orang yang memiliki kesamaan asal-usul daerah kelahiran, suku tertentu, atau kesamaan kepercayaan pada Tuhan tertentu.

Kedua adalah, demos seperti yang sudah saya jelaskan diatas. People juga bukan orang-orang yang tidak punya keahlian, bukan orang-orang yang tengah berkumpul dala pertemuan akbar, bukan orang-orang yang tidak tahu seperti anggapan para oligarki, bukan kekuatan rakyat yang menjadi penghubung dalam perbincangan mengenai politik. Menurut Ranciere people tidak eksis dalam arti mereka tidak dihitung atau tidak ada dalam tatanan sosial yang telah eksis. Ranciere tidak menggunakan istilah “rakyat” karena istilah tersebut identik dengan hubungan antar warga negara dengan negara.

Penolakan yang salah di dalam tatanan sosial memiliki konsekuensi sosial bahwa mereka harus diatasi agar kehidupan bersama yang harmonis dapat berjalan.

Ide kesetaraan diangkat oleh banyak pemikir untuk mengatasi keberdaan yang salah. Namun ide itu dibungkus dengan aneka macam argumentasi yang sebenarnya tetap menempatkan yang salah secara tidak setara dengan kelompok-kelompok masyarakat yang menduduki tatanan sosial dominan.

Dititik inilah Ranciere menepatkan kritiknya kepada para pemikir filsafat politik yang baginya tidak mampu membawahkan gagasanya, Ranciere menyajikan konsepnya tentang kesetaraan setiap orang dan semua orang yang diverifikasi melalui tindkan politik melalui demos.
Tindakan demos tersebut, selain mengandaikan kesetraan juga bertitik tolak pada kesetaraan. Artinya tindakan yang dilakukannya berdasarkan pada pemahaman bahwa dirinya setara dengan kelompok-kelompok yang ada didalam tatanan dominan tersebut. Demos menggangu harmoni tatanan sosial dominan yang sudah ada. Ia disebut mengganggu, karena demos mempersoalkan pembagian-pembagian didalm masyarakat da berusaha mengubah tatanan yang sudah ada dengan kemunculan dirinya yang sebelumnya tidak dianggap sebagai bagian menjadi bagian dari tatanan tersebut.

Perubahan inilah yang menunjukan bahwa kesetaraan terverifikasi.
Ranciere mendefinisikan politik berbeda dengan pengertian umum, atau anggapan orang selalu menyebut politik itu seperti bentuk pemerintahan, partai politik, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pemelihan umum atau perebutan kekuasan, politik menurut Ranciere bukanlah demikian. Politik terjadi ketika ada gangguan terhadap tatanan sosial dominan yang dilakukan oleh demos untuk memverifikasi kesetaraan.

Lalu apakah perbedaan pengertian antara politik dan demokrasi dalam pemikiran Ranciere?

Ranciere tidak meletakan demokrasi sebagai tatanan pemerintahan, misalnya demokrasi liberal. Namun demokrasi adalah paradoks antara tatanan pemerintahan dan kehidupan sosial dan politik. Demokrasi adalah politik yang dilakukan oleh demos.

Bagi saya, gagasan Ranciere terbilang baru, terutama dalam konteks pemikiran filsafat politik yang selama ini beredar, Tuti sang penulisnya, mampu menawarkan sebuah aspek kebaruan dalam pemikiran. Dalam konteks system politik demokrasi liberal seperti di Indonesia, jika ditelaah menggunakan pemikiran Ranciere, maka akan terlihat dominasi elit yang mengesampingkan the wrong  dalam tatanan sosial.
Politik arkhe oligarki, dinasti yang tumbuh subur di daerah-daerah semuanya dimainkan melalui instrument kekuakasan melalui partai politik yang mestinya diverifikasi oleh demos.

Selain itu, jika tugas negara demokrasi (pemerintah) yang hanya menjalankan pemilu untuk memilih pemipin, mengakui kebebasn pers, kebebasan berserikat dll, maka pokok pembahasanya bukan tentang politik, tetapi itu lebih ke tugas-tugas negara yang didalamnya ada pembagian tugas dan kewenangan, itu semata-mata hanya upaya untuk mewujudkan sebuah negara demokrasi konsesus, bukan sebagai upaya untuk mewujudkan politik dalam pandangan Ranciere, begitu juga dengan kuota keterwakilan 30% perempuan di parlemen hanyalah sebuah consensus, bukan tentang politik kesetaraan.

Peresensi, Masril Karim (Anggota Forum Studi Toadore)
Share:
Komentar

Terbaru