Petani Tomat Gurabunga |
Tidore, M.id - Hasil alam yang melimpah di Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, adalah anugerah. Namun jika tak dibijaksanai, tak diatur secara matang dalam sebuah perencanaan daerah, tentu menimbulkan efek domino. Korbannya sudah tentu petani kita sendiri. Karena hukum pasar tetap berlaku.
Konsep 'Agro Marine' yang diprakarsai Pemerintahan Tidore dibawa kepemimpinan Ali Ibrahim dan Muhammad Senen, dibutuhkan peran dari lintas sektor. Karena sejauh ini, produksi buah tomat di Kelurahan Gurabunga, masih tergerus dengan tomat dari Manado.
Terkait hal ini, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Kota Tidore Kepulauan, Syaiful Bahri Latif, lebih menekankan pada sektor hulu. "Ini berbicara hilirisasi. Kalau hulu tidak kontinue, maka hilirnya sudah pasti tidak stabil," kata Syaiful kepada Malut.id di Tidore, Kamis 15 Agustus 2019.
Menurut dia, kendala untuk sektor hortikultura saat ini, adalah jadwal penanaman yang tidak berkesinambungan. Sebab ketika masa produksi melimpah, volume suplay besar. Ini akan berdampak pada stabilitas harga. "Karena sejauh ini, jadwal penanaman belum teratur. Kuncinya produksi tidak boleh berhenti," urainya.
Sejauh ini, Syaiful mengaku telah membangun koordinasi untuk saling bersinergi. Namun persoalan ini kembali ke petani. Sayangnya, petani bukan wewenang Disperindakop. "Kami tidak bisa intervensi jauh. Itu tugas Dinas Pertanian," tandasnya.
Jauh sebelum konsep Agro Marine mengemuka, Gurabunga telah cukup terkenal dengan produksi tomat yang melimpah. Hal ini diakui oleh Imran Jasin, Kepala Dinas Pertanian Kota Tidore Kepulauan.
Untuk mendukung itu, Dinas Pertanian mencoba memfasilitasi wilayah Gurabunga dengan pengadaan embung dan profil tank, di samping fasilitas lain. Seperti membangun jalan tani, pengadaan hand sprayer, traktor serta pipa air. "Ternyata pengunaan pupuk cair sangat efektif dan diakui oleh petani di Gurabunga," katanya.
Menurut dia, jika ini berjalan maksimal, maka pihaknya akan menjalin kerjasama dengan Pemerintah Kota Ternate, melalui organisasi pemasok pangan. "Agar produk tomat Gurabunga bisa diterima setiap kali memasuki musim panen," katanya.
Sebab jika dihitung per periodik tanam, 6 bulan dalam setahun, atau periode Januari - Juni dengan jumlah sekitar 128 petani, maka kurang lebih dalam sekali siklus musim tanam akan menghasilkan 650 ton tomat. Namun jika dibandingan dengan daya serap tomat di Ternate yang sehari 2 ton, bakal over. "Makanya ini yang sedang kita programkan," katanya.
Panen Tomat Gurabunga |
Saat ini, lanjut dia, mesin saus tomat sudah ada. Rencanannya, tahun 2020 gudangnya bisa segera dibangun. Sekaligus Perusda Aman Mandiri membuka cabang usahanya untuk produksi saus tomat tersebut. "Itu nanti dikelola langsung oleh Perusda, bagaimana bisnis plan tomat Gurabunga itu," jelasnya.
Ditengah upaya hiliriasi tomat ke saus, kendala lain yang dihadapi adalah permainan harga pasar.
Realitas yang terjadi, harga tomat kerap turun hingga Rp 2.000 - Rp 3.000. Paling mahal Rp 12.000 - Rp 15.000. Jika dibandingkan 2-3 tahun lalu, harganya Rp 3.000, dan itu masih dianggap untung. "Istilahnya pulang pokok. Bahkan mencapai Rp 5.000 pun sudah sangat untung. Apalagi berkisar Rp 7.000, Rp 8.000 hingga Rp 10.000," ujar Imran.
Namun Imran mengaku optimis, jika bisnis plan berjalan dengan baik. Ia berasumsi, ketika harga tomat yang diterima di Ternate Rp 15.000, maka membeli langsung ke petani bisa sekitar Rp 12.000 atau Rp 11.000 per kilogram. Dengan begitu, maka selisih antara jarak harga beli di petani dan harga jual pada asosiasi sekitar Rp 3.000 - Rp 4.000.
"Kalau volumenya banyak, maka selisihnya Rp 2.000. Itu cukup. Jadi dipotong Rp 1.000 untuk transportasi, buruh, dan Rp 1.000 untuk keuntungan. Kalau keuntungan dikali 500 ton tomat, tentu sudah sekian ratus juta yang didapat per semester," tuturnya.
Lalu bagaimana persaingan di antara beberapa daerah penyangga, jika tomat disuplay secara bersamaan,? bagi Imran, yang perlu dibangun adalah komunikasi. Karena pada prinsipnya, sesama orang dinas harus tahu persoalan itu.
Ia berpendapat, jika komunikasi lintas dinas antara Halmahera Barat, Utara, hingga Timur lancar, maka akan ada kesepakatan, bahwa berapa hektare yang direncanakan untuk penanaman. Dari situ hasilnya sudah dapat diprediksi 3 bulan ke depan. "Itu tidak jadi masalah," tandasnya.
Namun, lagi-lagi Imran mengakui soal jadwal tanam yang belum berkesinambungan merupakan problem paling pelik. Sebab Gurabunga adalah daerah ketinggian. Jika curah hujan berkurang, maka aktivitas menanam menurun. Ketika musim hujan, semua ramai-ramai menanam. "Ini tidak bisa dihindari, makanya kita programkan membangun embung dan profil tank itu," katanya.
Soal produk tomat Manado yang masuk ke pasar Ternate, bagi Imran, tak bisa dihindari. "Mekanisme pasar memang benar terjadi seperti itu," katanya. "Sebenarnya, kalau kerjasama ini efektif, bisa disiasati," tambahnya.
Ia menduga, ada permainan pasar di Ternate yang menyebabkan produsen tomat dari Tidore merasa seakan dipermainkan. "Sebab kalau sudah terjalin kontrak, lantas Tidore diminta menyuplai 3 ton, tapi misalkan pada saat permintaan, porduksi kurang, kan bisa diminta dari daratan Oba Selatan. Tapi karena komitmen longgar, makanya begitu," tutupnya.