Dongenging Aku Tentang Negeri Belanda

Editor: malut.co
Foto Istimewa
Sumber : Google
Dari hasil menonton film Bumi Manusia beberapa jam lalu.

Sejarah kita adalah sejarah perbudakan, sejarah kekerasan, sejarah ketidakadilan, sejarah pribumi (inlader) dan non pribumi (Eropa).

Film Bumi Manusia berdurasi sekitar 172 menit, cukup membawa kita pada masa-masa kelam kolonialisme. Meskipun tak bisa menghadirkan seutuhnya sebagaimana yang dituliskan Pramoedya dalam Roman Tetralogi Buruh. Tapi paling tidak, kerinduan pada sosok humanis ini bisa terobati.

Adalah Minke dan Annelies menjadi tokoh sentral yang dieksplor habis-habisan oleh Hanung Bramantyo dalam film tak sederhana ini. Tak sederhana, karena selain ceritanya yang benar-benar original, kondisi masa itu juga barangkali bagian tersulit yang harus direkontruksi ulang oleh film tersebut, menghadirkan Indonesia seperti di awal abad ke 20 bukan perkara gampang, dan sudah pasti biayanya tak murah. Kurang lebih ada 22 tokoh yang menyokong keseluruhan karakter film Bumi Manusia. Selebihnya soal karakter tokoh lainnya yang tak Saya sebutkan dan jelaskan bisa dibaca langsung di buku Bumi Manusia.

Menariknya lagi, film ini setidaknya saya mencatat menggunakan 5 bahasa dalam percakapannya. Bahasa Melayu, Belanda, Jawa dan China juga Madura. Dikemas begitu apik, keselurahan percakapan dalam film ini benar-benar indah.

Minke sebagai Aku, dalam kisah ini, diperankan oleh Ikbal Ramadhan, Annelies sang mawar merah, tak Saya sebutkan sebagai bunga tulip, karena ia beberapakali terlihat dalam film membawa mawar merah, dan menolak disebut Indo (blasteran) apalagi sebagai seorang Noni Belanda, diperankan oleh Eva de Jongh. Nyai Ontosoroh dimainkan sempurna oleh Sha Ine Febriyanti, sorot matanya telah sanggup menggambarkan kepada kita semua saat pertama melihatnya, bahwa Dia adalah perempuan kuat. Ketika berbicara terdengar jelas Nyai Ontosoroh istimewa, perempuan yang pikirannya sanggup melampaui pikiran wanita-wanita Pribumi kala itu. Tak mengenyam pendidikan formal sama sekali, tapi Nyai tampak begitu kritis.

Konflik dalam film ini dipusatkan kisah cinta Minke dan Annelies juga pada persidangan kematian suami Nyai Ontosoroh, Herman Mallema, yang diracun dalam sebuah rumah suhian (rumah bordir) milik Babah Ah Tjong.

Herman Mallema adalah seorang kaya raya yang tinggal di Wonokromo, memiliki ladang yang luas dan hampir 500 pekerja pribumi yang hidup di ladangnya. Mereka diberi kebebasan kerja, mau kerja atau libur silahkan, asalkan jumlah produksi tetap terpenuhi. Ada juga peternakan sapi dan kuda, produk susu merupakan produk khas dari usaha keluarga Herman selain hasil pertanian. Lelaki Belanda ini pula yang mengajari Nyai Ontosoroh, sejak dibawah paksa oleh ayahnya untuk dijual 25 gulden plus jabatan  pada Herman Mallema, gadis desa ini tak bisa berbahasa Melayu sama sekali.

Tetapi Nyai hanya seorang Gundik, tak pernah dinikahi oleh Herman. Awalnya kehidupan mereka penuh kebahagiaan, sampai suatu hari badai itu datang. Badai yang datang tak berhenti bahkan ketika Herman sudah mati sekalipun. Sikap Herman berubah drastis, dan mulai rajin ke rumah bordir, pulang selalu dalam keadaan mabuk sejak kedatangan anak lelakinya 'Maurits Mallema' dari istri pertama di Nederland yang belum diceraikan.

Sejak hari dimana anak dari istri terdahulunya membanting botol susu dan mengancam Herman karena telah abai dari tanggungjawab sebagai ayah, Lelaki baik hati itu menjadi gila, sejak itu pula dia menjadi pasien tetap rumah Bordir Babah Ah Tjong. Dari hubungan Herman dan Sanikem dikarunia 2 orang anak, Robert Mallema dan Annelies Mallema.

Jika anda telah terus menerus berteriak dan tak didengar maka senjata ampuh satunya yang tersisa adalah menulis.

Kematian Herman membuat heboh Surabaia, hartawan ini mati diracun, dan kebetulan saja seluruh anggota keluarganya ada saat Herman mati diatas tempat tidur di rumah bordir yang letaknya tak jauh dari kediaman Nyai. Ada Minke disana, Darsam juru antar keluarga Herman, Annelies dan Robert. Berita kematian itu kian menghebohkan, karena menyeret Minke yang saat itu sedang disiapkan ayahnya menjadi bupati Bojonegoro.

Hampir seluruh koran memuat berita skandal kematian Herman Mallema. Minke, Nyai, Ann, dan Darsam dihadirkan dalam sidang yang benar-benar memperlihatkan kepada kita betapa tidak setaranya pribumi dengan warga Eropa kala itu, ada perlakuan khusus juga pada pejabat-pejabat pribumi.

Minke yang anak seorang Bupati diijikan masuk ke sidang putih (Eropa) tersebut dengan tetap menggunakan alas kaki, begitu juga Annelies tetap diperbolehkan memakai sepatunya, tetapi tidak dengan Nyai Ontosoroh dan Darsam, Nyai diminta paksa membuka alas kakinya dan harus berjalan dengan kedua lututnya, setengah merangkak menghadap para hakim di pengadilan tersebut. Reaksi Minke saat melihat itu benar-benar terbakar. Minke sedari awal sudah menolak perbudakan, ketidakadilan dan penindasan, kesewenang-wenangan diperlihatkan oleh bangsa Eropa pada Pribumi. Tatapan Nyai saat diminta membuka alas kakinya menyiratkan kegeraman yang luar biasa, sekali lagi Nyai adalah representasi dari pemberontakan yang sebenar-benarnya.

Sidang yang panjang, tak adil dan berbelit-belit itu akhirnya dimenangkan oleh Nyai. Lepas seluruh tuduhan atas mereka, termasuk prasangka atas upaya Nyai menguasai harta milik Herman, sehingga melakukan kejahatan meracuninya. Skandal kematian menghebohkan itu akhirnya terbongkar, saat saksi kunci, seorang sundal (pelacur) yang meracuni Herman mengakui perbuatannya atas perintah Babah Ah Tjong. Sepertinya Babah mulai bosan karena kehadiran Herman di rumah bordirnya bahkan lebih banyak daripada kehadiran dirinya, pemilik rumah bordir tersebut.

Minke alias Tirto selain melakukan pembelaan langsung dihadapan pengadilan juga melalui tulisan tulisan.

Seperti pada kasus kedua yang kembali menghampiri kehidupan Nyai pasca kematian Herman. Maurits yang hanya sekali datang ke Jawa, dengan hukum kolonial, bisa menguasai seluruh harta ayahnya, dan yang paling menyedihkan, Nyai Ontosoroh harus melepaskan hak atas kedua anaknya, dan pengadilan hanya memberikan waktu 5 hari kepada Nyai sebelum terputus hak atasnya Annelies.

Bahkan Annelies masih dianggap anak gadis, padahal secara agama islam, perkawinan Minke dan Annelies dianggap sah, tapi tidak menurut hukum Eropa, bahkan dalam persidangan yang paling menjatuhkan martabat Nyai sebagai Pribumi, Minke membawa serta catatan surat bukti pernikahannya dengan Annelies dari kantor bagian urusan agama Islam. Tapi sekali lagi, tak berlaku hukum pribumi apalagi hukum Islam.

Beberapa kali Annelies jatuh pingsan menghadapi tekanan, Annelies terpaksa di bius untuk meredakan sakit trauma masa lalunya yang akan bertamba parah jika berada dalam tekanan. Berhari-hari Annelies hanya bisa berbaring dalam kamarnya. Ditemani Minke kekasih hatinya, sambil pelan-pelan Nyai Ontosoroh mengumpulkan kekuatan untuk melawan.

"Kita harus melawan, Apakah kamu siap Minke?" Tanya Nyai suatu kali dibatas sabarnya. "Dengan melawan kita tak sepenuhnya kalah, jikapun kalah, kita kalah dengan kehormatan.

Minke dan Nyai memulai babak perlawanan, Minke memobilisasi seluruh kekuatan yang ada padanya, Minke tak memilih perlawanan senjata. Ia membuat sebanyak-banyak bacaan tentang kasus yang menimpa Nyai dan Istrinya. Tulisan yang paling menggugah dan memantik kemarahan pribumi dengan judul kurang lebih; Hukum Eropa yang berlaku dan tak berlaku hukum Islam.

Kemarahan pribumi meluas bukan hanya dari kalangan Islam tapi seluruh pribumi. Narasi-narasi yang dibangun lewat tulisan-tulisan Minke masuk merasuk ke jiwa pribumi yang telah begitulah lama ditindas oleh kolonialisme. Setiap persidangan Nyai Ontosoroh mencari keadilan atas dirinya dan untuk mengembalikan hak asuh atas anaknya selalu dipenuhi massa pribumi, yang sebagian datang membawa celurit, menantang para Eropa bersenjata di depan pengadilan.

Sebagai gundik, itulah hari hari paling melelahkan dalam hidup Sanikem. Anak perempuan satu-satunya harus direlakan lepas ke Nederland dibawah asuhan wanita lain. Hukum apa yang begitu jahat memisahkan seorang ibu dari anak-anaknya? Nyai dan Minke telah melawan sekeras-kerasnya, meskipun akhirnya harus menerima putusan tak adil tersebut, semakin dekat perpisahan antara Nyai dan Annelies, semakin dekat pula kehilangan yang dihadapi Minke. Jalan duka telah dipilih Minke, memilih tak hidup sebagaimana priyayi yang lain, Dunia Minke bukan, jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Dunia Minke adalah bumi manusia dengan segala persoalannya. Dan barangkali persoaln paling pelik dalam kehidupan manusia memang urusan cinta.

"Cinta itu indah, Minke, juga kebinasaan yang mungkin membututinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya."

Dan akibat akibat itu yang diambil oleh Minke, Karena cinta pada Annelies, Minke dikeluarkan dari sekolah Hoongere Burgerschool (HBS), karena Annelies pula Minke berani menghadapi kemarahan yang amat sangat dari ayahnya sendiri, ayah Minke bahkan menyurat langsung ke kepala sekolah H.B.S untuk mengeluarkan anaknya. Annelies memang perempuan yang rapuh tapi saat-saat terakhir perpisahan, Minke lah manusia yang paling rapuh.

Setelah berhari-hari menunggui Annelies yang belum juga siuman dari sakitnya, suatu pagi saat akan berpisah, Minke tersentak bangun dari tidur mencari Annelies yang tak ada di tempat tidurnya. Dalam keadaan panik, Annelies membawa masuk sarapan untuk Minke dengan tangan gemetar, sambil memaksa untuk menyuapi suaminya, berkali-kali ditolak oleh Minke, berkali-kali Annelies memaksa.

"Biarkan aku menyuapi suamiku untuk yang terakhir kalinya!"

Minke tak kuasa menolak lagi, perih di dada mendengar kata-kata yang keluar dari mulut istrinya. Pagi itu Annelies jadi gadis yang lain, berbeda dari sebelumnya yang biasanya rapuh. Anne terlihat begitu kuat bahkan lebih kuat dari Nyai ibunya. Sebelum perpisahan yang menyakitkan itu tiba, Annelies meminta di dongengkan tentang negeri Belanda.

"Dongengin aku tentang negeri Belanda, suamiku,"

Luka-luka terbuka di dada Minke mendengar permintaan itu, Nederland adalah negeri dongeng di bawah air laut, Minke mulai bercerita. Dengan sungai-sungai yang melintasi, dan kapal-kapal kecil yang ikut serta mengiringi, indah, kincir angin, bendungan, rumah rumah yang di indah di kanal-kanal dan ratu yang cantik, tetapi tetap tak secantik kamu Annelies.

Waktunya selesai, kata ibu asuh baru Annelies dari luar kamar, dongeng pun selesai, tapi air mata Minke tak selesai menetes.

Annelies tersenyum menatap Minke dan Ibunya yang menunggu di depan pintu kamar. Perempuan yang menolak jadi bunga tulip itu berusaha menguatkan keadaan. Tetapi kesedihan itu kembali pecah, ketika Annelies meminta memakai koper yang dahulu pernah dipakai ibunya saat dibawah keluar dan di jual kepada Herman oleh ayahnya sendiri, demi 25 gulden dan jabatan.

Hati ibu mana yang tak hancur mendengar permintaan terakhir buah hati kesayangannya.

"Aku ingin memakai koper yang sama seperti koper yang pernah ibu bawa pertama kali keluar dari rumah, dan mungkin aku tak akan pernah kembali ke rumah ini lagi."

Nyai langsung menahan dadanya, meringis, berairmata, meremas pilu sejadi-jadinya. Sanikem yang sedari awal tabah menghadapi segala persoalnya, baik kebiadaban Belanda di luar rumah maupun di dalam rumahnya hari itu, patah bekali-kali. Musnah sudah seluruh kekuatannya. Ini perpisahan paling berdarah dalam hidup seorang ibu, dan bagi Minke, bagi Tirto.

"Kita pernah bahagia Minke," ucap Annelies sambil membuka kedua anting mutiaranya, "kenang itu saja, jangan yang lain." Lalu diserahkan kedua anting tersebut pada suaminya tercinta, pembelanya yang setia dan terhebat.

Akhinya perpisahan itu tiba, Minke dan Nyai Ontosoroh telah berulang kali berusaha agar mereka bisa mengantar Annelies sampai ke Nederland namun tak pernah berhasil. Hukum Eropa tak membolehkan seorang pribumi melakukan itu. Meski berat hati akhirnya tugas mengantar Anne diberikan pada Panji Darman, teman sekelasnya di H.B.S yang terjun dari kapal, tak ikut bersama orang tua angkatnya pulang ke Eropa. Panji memilih menjadi pribumi, dan bekerja di ladang Nyai Ontosoroh atas bantuan Minke. Sekali lagi tugas pengantaran itu diberikan pada sahabatnya, bukan sebagai Panji nama pribuminya, tetapi sebagai Jan Daperste anak Eropa.

Harus diakui Bumi Manusia adalah kisah sejarah bangsa yang tak indah, tapi itulah kenyataannya, mesti disajikan sebagaimana adanya, sebagai sebuah memori koletif anak bangsa. Kita tak boleh ahistoris.

Histori magistre vitae, Pram coba menghadirkan tokoh imajiner Minke sedemikian rupa agar kita paham, bahwa kita masih punya satu sejarah lagi, yaitu sejarah perlawanan pada penindasan, pada kedzaliman dan pada kesewenang-wenangan. Kita menolak dijajah, dibedakan kelas karena kita pribumi dan mereka bukan pribumi, kita menolak disebut Monkey (Minke) seperti panggilan anak-anak H.B.S pada Tirto. Itu dijawab oleh Tirto si Minke dengan menjadi lulus terbaik di H.B.S dan juara 2 se Hindia Belanda.

Bumi Manusia bukanlah novel yang berdiri sendiri, begitu juga ketika diapatasi menjadi film. Wajar jika tak semua bagian sanggup dihadirkan dalam durasi yang hanya 172 menit itu. Kekurang-kekurangan bisa kita maklumi. Begitu juga kekurangan dalam tulisan Saya ini.

Dari Bumi Manusia, ada lagi Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Roman Tetralogi Buruh bukan saja dimaksudkan mengisi sebuah episode berbangsa yang berada dititik persalinan nan pelik. Roman ini mencoba memberikan kita alternatif untuk melihat jalan dan gelombang sejarah secara lain dari sisinya yang berbeda. Sebagaimana film ini, mencoba memberikan kita alternatif untuk lebih mudah mempelajari sejarah bangsa sendiri, Indonesia yang kita cintai.

Akhirnya penulis harus upacara di dalam bioskop tadi, karena sebelum film dimulai seluruh penonton diminta berdiri dan di layar besar itu berkumandang lagu Indonesia Raya. Dirgahayu ke 74 Indonesiaku. Jayalah selalu.

Ardiansyah Fauzi
Novelis
Share:
Komentar

Terbaru