Bumi Manusia (Perjuangan) Tak Lekang Oleh Waktu

Editor: Redaksi
Senandung Untuk Eyang Pramoedya
Tanggal 16 agustus 2019 adalah hari yang sangat “mencerahkan” bagi kami komunitas persaudaraan SHAAD, dimana pada hari tersebut, kami menggeber diskusi rutin (karena sudah berjalan sekira kurang lebih 2 tahun) yang bertepatan dengan memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-74. Keistimewaan hari ini karena diskusi kali  ini sekaligus dengan refleksi kemerdekaan dengan  mengambil tema “Bumi Manusia dan Refleksi Kemerdekaan”.

Bumi Manusia tentu tak akan lepas dari sosok Pramoedya Ananta Toer sang pengarang yang “kontroversi” (menurut terminologi kekuasaan) tapi di sisi yang lain beliau adalah tokoh “Pencerah” (menurut terminologi pegiat anti pengekangan). Stigma “plus-minus” yang dilabeli pada eyang Pram inilah yang mengakibatkan karya-karya beliau yang sangat dahsyat itu harus “dilarang” terbit dan dibaca oleh khalayak ramai pada masa orde baru. Terlepas dari label kontroversi (tergantung perspektif mana kita memandang), kita tentu harus adil bahwa karya-karya eyang Pram, terutama Bumi Manusia yang bertepatan juga sehari sebelumnya pada tanggal 15 agustus 2019 resmi tayang di bioskop seantero nusantara ini, patut kita amini bersama bahwa karya-karya beliau sangat mencerahkan.

Pencerahan ala eyang Pram yang dituangkan dalam karya sastra beliau (Bumi Manusia) tentu perlu diresapi dengan baik. Membaca Bumi Manusia tidak cukup hanya sekali, begitu banyak tokoh yang digambarkan dan berperan pada lakon Bumi Manusia, sehingga sangat “susah” kita untuk menentukan tokoh mana sebenarnya yang bisa dijadikan tokoh sentral, karena semua karakter tokoh yang ada pada Bumi Manusia penting untuk dipahami para pembaca.

Selain karakter tokoh, secara eksplisit pun ajaran-ajaran eyang Pram tentang “kemerdekaan” manusia begitu lugas dan tegas dituangkan  pada narasiBumi Manusia yang sarat akan pendidikan karakter bangsa. Salah satu ajaran yang banyak mendapatkan perhatian pembaca adalah “Kita harus berlaku adil, sejak dari dalam pikiran”, hal ini dikandung maksud bahwa manusia (apalagi para kaum cerdik-pandai) senantiasa harus meletakkan “kebenaran” pada posisi yang sebenarnya, bukan “kebenaran” karena kepentingan, atau “kebenaran” karena untung-rugi. Dan apa yang terucap (bicara) pun harus sesuai dengan laku (perbuatan) kita, bukan malah sebaliknya.

Sehari setelah diskusi Bumi Manusia, tepat pada tanggal 17 agustus 2019, kami pun nonton bareng Bumi Manusia, disini kita akan disuguhi oleh kepiawaian seorang Hanung Bramantyo sang sutradara dalam menarasikan sosok eyang Pram (Bumi Manusia) melalui media Film. Dengan mendaulat Iqbal Ramadhan (Minke) yang merupakan idola milenial, Mawar De Jong (Annelies Mellema) serta Ine Febriyanti (Nyai Ontosoroh), banyak yang mengomentari minor, bahwa Bumi Manusia lebih “mementingkan” sisi bisnis dibanding tujuan mencerahkan manusia. Tapi kami lebih memilih untuk berlaku adil sejak dalam pikiran, kita nikmati dulu filmnya, baru berkomentar.

Nuansa kemerdekaan sangat kental pada film Bumi Manusia, sebelum mulai, para penonton diminta untuk berdiri dan menyanyikan lagu Kebangsaan Indonesia Raya secara bersama-sama yang dipandu di layar bioskop. Awal yang tepat pada sebuah film yang berlatar belakang semangat kemerdekaan (manusia) Indonesia.

Adegan demi adegan tersuguhkan sepanjang 181 menit atau setara dengan 3 jam 1 menit (sebuah durasi film yang lumayan panjang), Hanung menampilkan narasi di dalam narasi yang bernuansa plot maju-mundur (tentu butuh konsentrasi dalam mengikuti alur ceritanya, persis seperti dalam novel Bumi Manusia). Penggambaran karakter tokoh pun sangat baik. Seorang Robert Suurhof (Indo) yang kepengen menjadi seorang Belanda, dengan menggunakan kepintaran atau lebih tepat dapat dikatakan “kelicikan” dengan selalu membandingkan dirinya dengan pribumi untuk mengangkat derajatnya supaya kelihatan lebih tinggi pada persoalan kasta. Ada juga sosok Darsam (pembantu sekaligus bodyguard Nyai Ontosoroh) dari kalangan “jawara” yang lebih banyak mengandalkan kekuatan fisik untuk menyelesaikan persoalan tapi sosok yang punya jiwa korsa yang tinggi dan kesetiaan yang luar biasa.

Pun juga sosok Jan Deperste seorang anak angkat pendeta Belanda yang sepanjang bersekolah di HBS gelisah karena ketidakinginannya menjadi seorang Belanda dan lebih memilih menjadi pribumi dengan lebih suka memakai nama aslinya yaitu Panji Darman (sikap nasionalisme yang sangat kental dan kuat) dan tak kalah menarik sosok Maiko seorang Pelacur berkebangsaan Jepang yang menjadi primadona di rumah bordil baba Atjong, yang kerapkali profesi Maiko ini dianggap “sampah” oleh terminologi kecenderungan umum tapi Maiko tidak pernah “melacurkan” kebenaran, yang dalam adegan persidangan kematian Mneer Herman Mellema (suami tidak resmi Nyai Ontosoroh) dengan tegas dan berani mengakui bahwa dialah yang bertanggungjawab karena menularkan penyakit Sipilis kepada Mneer Herman Mellema, tapi dengan sangat kesatria mengungkapkan kebenaran bahwa Mneer Herman Mellema mati karena di racun oleh baba Atjong yang adalah Tuannya sendiri.

Dan masih banyak tokoh lainnya yang dengan apik dan sangat bagus digambarkan oleh Hanung pada film Bumi Manusia seperti Jean Marais (seniman, mantan tentara kompeni berkebangsaan Prancis), Juffrow Magda Pieters (Guru Minke), Ibunda Minke yang sangat demokratis dan tidak feodal walau keturunan ningrat Jawa bersuamikan seorang Bupati.

Tapi sangat disayangkan sekali, tokoh Sarah dan Miriam De la Crois tidak terlalu ditonjolkan Hanung dalam film Bumi Manusia, padahal kedua kakak beradik inilah yang berdebat dengan minke persoalan jati diri bangsa pribumi, dari mereka berdualah Minke mengenal definisi yang sesungguhnya tentang istilah Modern pada saat itu, dan merekalah yang mengkompori Minke untuk belajar tentang Asosiasi yang merupakan cikal bakal terbentuknya organisasi untuk kepentingan hak-hak Bumiputera.

Secara Teknik sinematografi saya tidak menyoroti hal tersebut karena memang bukan ahlinya, tapi secara kasat mata ada celah yang bisa kita temukan dalam film tersebut seperti kertas yang digunakan pada saat itu terlalu bagus pada zamannya, dan kesimpulan saya tentang teknik perfilman adalah mungkin saja waktu produksi film Bumi Manusia sangat kasip karena memang mengejar momentum hari kemerdekaan.

Ada hal yang menarik pada film Bumi Manusia, setelah kita selesai menontonnya, setiap penonton pasti punya persepsi masing-masing berdasarkan sudut pandangnya sendiri-sendiri dan tokoh yang diidolakan pun setiap orang berbeda-beda. Bahkan pesan-pesan moral yang disuguhkan dalam film Bumi Manusia masing-masing penonton mendapatkan hal yang berbeda pula. Inilah kehebatan eyang Pram yang menggiring pembaca untuk bebas merdeka dalam menarik kesimpulan sesuai dengan persepktif masing-masing. Bahkan ketika difilmkan pun berlaku demikian, bisa saja ini sedikit merepotkan dan tantangan bagi Hanung dalam mengsutradarai film Bumi Manusia.

Saya pribadi menjadikan film Bumi Manusia sebagai otokritik terhadap diri saya sendiri. Secara statistikal, berapa persenkah jiwa idealisme dan semangat nasionalisme yang ada dalam diri saya, dan berapa persenkah karakter “penindas” ala kompeni yang ada pada perilaku saya.Sebuah “tamparan” intelektual seorang eyang Pram bagi kami, manusia Indonesia hari ini. Kalau Anda sendiri bagaimana???

Dari bilangan Jl. W.R. Supratman
18 Agustus 2019

*)Tukang Bekeng Kopi

Penulis : Haryanto
Share:
Komentar

Terbaru