Irfan Ahmad
(Staf Pengajar
di Program Studi Ilmu Sejarah FSB-Unkkhair dan aktif di Matahati Institute)
Tulisan ini adalah respon dari beberapa postingan di
sosial media (facebook) terkait
dengan ambruknya dinding selatan benteng Oranje akibat revitalisasi yang ramai
diperbincangkan. Bahkan ada cibiran bahwa “benteng Oranje tak lagi terdaftar
sebagai Cagar Budaya Nasional”.
Perlu diketahui, pada tahap awal pelaksanaan pemugaran benteng
Oranje yang dimulai dari penataan
tembok keliling menggunakan
semen/diplester dengan ketebalan mencapai 10 cm, serta penataan
ruang informasi dan halaman untuk fasilitas publik pada tahun 2007-2008 lalu telah mendapat protes keras dari beberapa
lembaga pemerhati sejarah dan budaya, yakni
Fakultas Sastra dan Budaya, Matahati Institute dan Gnosis Institute. Namun, protes
diabaikan dan pekerjaan terus berlanjut, meskipun saat itu bertentangan dengan Undang
Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Jika benar benteng Oranje telah dihapus dan tidak
dimasukan dalam Cagar Budaya Nasional karena, adanya perubahan yang mendasar
pada zona benteng tersebut. Lantas ini salah siapa?
Ambruknya dinding selatan (kanan), mengindaksikan Revitalisasi
benteng Oranje yang telah berlangsung hingga Tahap III perlu dikaji kembali.
Hal ini tak lepas dari kenyataan bahwa revitalisasi telah menghilangkan bentuk, warna dan
keaslian benteng Oranje. Alhasil,
bertentangan dengan tujuan revitalisasi yang telah disebutkan dalam UU-BCB.
Revitalisas adalah kegiatan pengembangan yang ditujukan untuk menumbuhkan
kembali nilai-nilai penting Cagar Budaya melalui penyesuaian fungsi ruang baru yang
selaras dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat. Revitaslisasi
benteng Oranje yang tengah berlangsung saat ini, mungkin saja tanpa melibatkan orang-orang yang ahli di bidangnya,
juga dikerjakan oleh orang-orang yang tidak memiliki sertifikasi khusus
pembangunan peninggalan bersejarah, hal inilah yang menyebabkan ambruknya dinding benteng Oranje.
Padahal sebelumnya Kepala Dinas PUPR Kota Ternate, Risval
Tri Budianto mengatakan revitalisasi benteng Oranje bila telah rampung
seluruhnya, akan menjadi salah satu objek wisata peninggalan di Tenate
berfungsi sebagai pusat pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. (Antara.
com. 23-1-2017). Pengetahuan yang mana? bila sebagian situs telah mengalami
kerusakan dan diubah keasliannya sehingga bertentangan dengan Undang-Undang
Republik Indonesia No. 11 Tahun 2010.
Dalam UU-BCB juga dijelaskan, cagar budaya
merupakan kekayaan budaya bangsa
sebagai wujud pemikiran
dan perilaku kehidupan manusia
yang penting artinya
bagi pemahaman dan pengembangan
sejarah, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara sehingga perlu dilestarikan
dan dikelola secara
tepat melalui upaya perlindungan,
pengembangan, dan
pemanfaatan dalam rangka
memajukan kebudayaan nasional, demi kemakmuran rakyat.
Revitalisasi benteng
Orange yang dilaksanakan Pemerintah Kota Ternate bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (PUPR), yang sudah berjalan saat ini sangat miris, karena telah melanggar Undang-Undang
Republik Indonesia No. 11 tahun 2010 tentang Benda Cagar Budaya. Pasal 53 ayat
(1) Pelestarian Cagar Budaya dilakukan berdasarkan hasil studi kelayakan yang
dapat dipertanggungjawabkan secara akademisi, teknis dan administrasi; (2)
Tenaga Ahli Pelestraian dengan memperhatikan etika pelestarian. Terlepas dari
upaya Pelestraian hal yang sama juga dikemukan dalam hal Revitalisasi, pada
Pasal 80 ayat (1) Revitalisasi potensi Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar
Budaya memperhatikan tata ruang, tata letak, fungsi sosial dan/atau langskap
budaya asli berdasarkan kajian; (2) Revitalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan dengan menata kembali fungsi ruang, nilai budaya dan penguatan
informasi tentang Cagar Budaya.
Dari ketentuan tersebut,
dapat disimpulkan bahwa
revitalisasi bangunan cagar
budaya seyogyanya mengandung tiga unsur perlakuan, yaitu: 1) Konservasi,
yaitu pemeliharaan serta perbaikan bagian-bagian yang rusak (pemugaran): 2) Pemberian
nilai ekonomi, yaitu penambahan fungsi atau perubahan fungsi sesuai dengan
kebutuhan manusia masa kini, sehingga
alih-alih menjadi “cost centre” bangunan cagar budaya hendaknya
menjadi “profit centre” dan 3) Pemilihan jenis
penggunaan yang dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Dengan demikian,
bangunan cagar budaya tidak menjadi sarana atau wadah kegiatan yang eksklusif.
Dengan begitu, kita dapat mengembalikan gairah menghargai
benda-benda cagar budaya yang bukan hanya menjadi kekayaan masyarakat dan
bangsa, melainkan juga menjadi kekayaan ilmu pengetahuan yang akan terus
mengungkap fakta-fakta sejarah. Menikmati keindahan dan menjaga kelestarian
benteng Oranje merupakan salah satu bentuk kepedulian yang sangat berarti.
Tentunya, peran para ahli yang berkaitan dengan perlindungan benda-benda cagar
budaya perlu ditingkatkan dengan memberikan pemahaman, pengertian, dan
sosialisasi. Perlindungan hukum pun harus ditegakkan secara konsisten sehingga tak
lagi terjadi kepincangan-kepincangan hukum yang menyisakan rasa ketidakadilan
bagi masyarakat. Ambruknya dinding benteng Oranje yang dengan sendirinya turut
pula meruntuhkan sejarah budaya bangsa ini, sebab masalah yang terjadi di Kota
Ternate hari ini hakikatnya merupakan masalah bangsa.
Revitaslisasi yang dilakukan saat ini oleh pihak terkait tidak
memiliki kajian ilmiah, karena jika mengikuti prosedur revitalisasi yang baik
dan benar, seharunya pihak terkait dan pelaksana lebih dulu melukukan studi
kelayakan dan studi teknis agar tidak terjadi kesalahan dalam revitalisasi
seperti yang dialami benteng Oranje saat ini. Olehnya itu, kepada pihak terkait
selaku penanggung jawab proyek, dalam
pengerjaan revitalisas
peninggalan sejarah di Kota Ternate maupun Maluku Utara, baiknya selalu melibatkan
ahli-ahli terkait yang memiliki kapabilitas di bidangnya dalam hal pengawasan
kegiatan tersebut dan terus evaluasi mengambil langkah-langkah yang strategis
demi pembangunan Kota Ternate yang lebih
baik. Semoga