PENDIDIKAN DE(HUMANIS)ASI

Editor: Taufik

Abdullah Totona
Pengiat Kajian Humaniora


 



Aku bertanya: Apa gunanya pendidikan, Bila hanya akan membuat orang merasa asing, Ditengah kenyataan persoalannya?, Apakah gunanya pendidikan bila hanya, mendorong seseorang, menjadi layang-layang  di ibukota, kikuk pulang ke daerahnya?, Apa gunanya seseorang belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran atau apa saja, ketika ia pulang ke daerahnya lalu berkata: “Di sini aku merasa asing dan sepi!” (Sunardi,2004:64).



Ungkapan yang nyata dari proses keterasingan dan dominasi mempertegas adanya Dehumanisasi. Pendidikan yang humanis adalah sebuah proyek utopia (dalam artian yang positif) untuk kaum tertindas dan terjajah. Dalam konteks itu perlu ditegaskan apa yang sebenarnya terjadi dan keterkaitan antara proses dehumanisasi dan pendidikan yang humanis. Sekali lagi keduanya membutuhkan aksi  sosial untuk menjaga dan memodifikasi realitas mereka masing-masing – untuk membantah ilusi kaum idealis dan angan-angan pendidikan humanis yang tidak disertai dengan transformasi dunia yang tidak adil dan menidas – ilusi.  


Ini sebenarnya hanya melayani kepentingan pihak yang diuntungkan dan mengekspos ideologi yang menciptakan sindrom kemakmuran dengan cara meminta kaum tertindas untuk bersabar menunggu hari-hari yang lebih cerah bukan sekarang, tetapi sebentar lagi akan datang, (Freire, 2004:189-190). Dengan demikian, untuk melahirkan pendidikan yang humanis, kita mesti harus membangun kesadaran kritis, agar tujuan pendidikan dapat membentuk manusia yang manusiawi yang berunjung pada pelaksanaan teori dan praktik dapat terlaksana. Tanpa kedua hal itu, kita akan kehilangan kemanusiaan sebagai mahluk yang berakal dan mendekati “kesempurnaan”.


Diskursus tentang pendidikan bukanlah hal yang baru dalam sejarah umat manusia, dia sudah sejak lama dibentuk dan atau dibangun di atas landasan filsafat. Pendidikan selalu berhubungan dengan kondisi sosial, ekonomi dan politik, di mana Pendidikan secara ideal ditafsir sebagai sebuah langkah untuk menciptakan generasi yang cerdas dan humanis di dalam masyarakat. Namun, dalam perjalanannya pendidikan kemudian keluar dari garis idealnya, di mana pendidikan cenderung menjadi tempat kekerasaan simbolik dan kapitalis. Sejalan dengan ini, Freire dan Ivan Illich  kemudian membuka mata kita secara kritis bahwa pendidikan yang hampir selama ini dianggap sakral, penuh kebajikan tersebut ternyata mengandung juga penindasan (Fakih dalam O’neil, 2002:X).  


Di Indonesia proses penindasan ini terjadi karena penguasa atau elite cenderung tidak ingin kekuasaan digoyah oleh masyarakat yang sadar akan humanisme-nya. Dengan demikian cara untuk menindas dan menutup ruang kemanusiaan bagi masyarakat untuk membrontak adalah melalui pendidikan, di mana pendidikan direduksi secara pragmatis dan kelas sosial, sehingga pendidikan kehilangan tujuannya sebagai pembentukan humanity. Ruang kebebasan masyarakat untuk mengengembangkan kemampuannya sebagai manusia yang berakal kemudian tidak diberikan kesempatan oleh pemerintah. Di mana hanya masyarakat yang memiliki modal ekonomi menegah keatas yang dengan mudah memperoleh akses pendidikan formal. Belum lagi proses belajar mengajar yang membuat murid tidak bebas dalam membangun komunikatif dan dialog dengan guru, guru seakan-akan lebih paham, mengerti dan memiliki otoritas intelektual ketimbang siswa. Sehingga para siswa tidak dibuat kritis dalam melihat setiap masalah yang terjadi dalam arena sosial.


Sekolah-sekolah selama ini hanya mampu menerjemahkan pendidikan sekedar memberikan pengetahuan (transfer of knowledge) yang dimiliki guru pada siswa. Model pendidikan yang demikian hanya membebani siswa dengan hafalan-hafalan teori maupun rumus-rumus, untuk bisa menjawab soal-soal ujian, tapi tidak mampu membuat siswa untuk menerjemahkan apa yang diajarkan di sekolah kedalam realitas sosial. Oleh karena itu pendidikan tidak lagi menjadi jawaban atas problem sosial,politik, ekonomi dan kebudayaan yang tengah dihadapi oleh kita.


Pendidikan mestinya menjadi alat pembebasan bagi kebodohan, kemiskinan dan kekerasan yang dialamai oleh masyarakat dalam artian bahwa pendidikan mampu menggangkat harkat manusia dari bentuk dehumanisasi. sejalan dengan ini menurut Sindhunata, pendidikan dalam demensi tersebut harus membuat masyarakat sadar, siapa, dirinya, bagaimana dirinya dengan dunia luarnya. Kesadaran semacam ini akan menggugah bahwa dirinya tidak sebebas yang dibayangkan. Dalam hal ini pendidikan harus mampu menyadarkan manusia karena pemaksaan dan penindasan tidak hanya mengenai fisik dan luar saja, tetapi pemaksaan dan penindasan juga akan merasuk ke dalam kesadaran manusia. Justru lewat kedalaman itulah manusia harus bangkit dari kesadaran yang dulunya menindas. (Yunus, 2004:11)  


Ideologi Pendidikan


Ideologi pendidikan adalah salah satu kerangka atau paham yang dijadikan rujukan untuk membangun sistem pendidikan di negara-negara berkembang. Kata ideologi membentuk kehendak untuk melakukan penerapan sistem pendidikan sesusai dengan oreintasi dari ideologi tersebut. Ideologi adalah sistem nilai atau sistem kenyakinan yang diterima sebagai fakta/kenyataan atau sebagai kebenaran oleh kelompok tertentu...(O’neil, 2002:600).  Ideologi dan pendidikan merupakan entitas yang memiliki relasi erat dengan misi de(humanis)asi. Pendidikan bisa berubah menjadi ketidak-manusiaan ketika pendidikan sendiri diarahkan pada ideologi yang tidak membuat para masyarakat kritis dan bebas berpikir sesuai dengan apa yang terjadi.


Indonesia saat ini tengah menggunakan ideologi pendidikan liberal, ideologi ini diyakini bahwa pendidikan harus berdiri sendiri tanpa harus memiliki relasi dengan masalah sturktur dan fungsi politik. Pendidikan ini melahirkan proses ketidakpeduliaan pada masalah yang terjadi di luar pendidikan itu sendiri, sehingga para siswa dan masyarakat tidak bebas sebagai manusia sejatinya. Selain itu, ideologi ini memprovokasi para siswa untuk mendapatkan prestasi IPK, dengan mengurus hal-hal yang tidak terlalu penting sifatnya, misalnya penataan ruang kelas yang di setting sebaik mungkin, guru lebih dominasi dalam penyampaian materi. Kecenderungan seperti ini akan membuat para siswa tidak tanggap dalam menanggapi permasalahan-permasalahan yang terjadi di lingkungan mereka. Sekolah yang dianggap menjadi control sosial sekaligus membentuk karakter siswa yang peduli pada kondisi sosial politik dan ekonomi, telah keluar dari kemanusiaan yang beradab.


Menurut Giroux dan Aronowitz memang ada beberapa ideologi atau aliran yang ada dalam dunia pendidikan saat ini yakni, Konservatif, Liberal, dan Kritis (Fakih,2002:XIII-XVI). Dari  ketiga ideologi ini proses pendidikan masih digunakan pada aliran liberal, Hal ini kemudian terasa pada konteks pendidikan di Indonesia, di mana pendidikan yang dirasakan saat ini masih berkiblat pada aliran atau ideologi liberal. Proses seperti ini juga tidak dinafikan berdampak pada perguran tinggi. Kita seakan di atur oleh perbudakan yang sangat halus cara mainnya. Di mana bukan kapasitas dan kritisnya yang menjadi penentu untuk para mahasiswa mendapatkan ijazah, melainkan karena kepatuhan pada dosen, tidak berdebat secara keras dengan dosen, jual beli Ijazah. Oleh karena itu, bagi Sastrawan Rendra inilah yang membuat orang merasa asing dan sepi.

Share:
Komentar

Terbaru