Budidaya Madu yang Terpaksa Dimadu Kelapa Genjah

Editor: Taufik

“Manis, asam, dan sepat, terasa di lidah ketika saya berkesempatan mencicipi madu dari hasil budidaya yang dilakukan oleh Bakri Hasan (42), Warga Payahe Kecamatan Oba.



Laporan : Firjal Usdek


Tiga rasa madu itu juga sekaligus mewakili kekecewaan Bakri terhadap Pemerintah Daerah Kota Tidore Kepulauan. Betapa tidak, ia mengaku pernah ditolak oleh Walikota, saat ditemui beberapa waktu lalu dalam rangka meminta bantuan pengembangan budidaya.


Sikap pemerintah yang lebih memaksakan pengembangan sektor pertanian melalui penanaman kelapa genjah yang ditolak warga. Hal itu dianggap Bakri sebagai pengabaian Pemerintah Daerah dalam mendukung usaha kreatif masyarakat Oba, yang dirintisnya melalui budidaya lebah madu Trigona.


Meskipun ditolak Walikota, Bakri dengan swadayanya berhasil membina kelompok budidaya lebah madu jenis Trigona. Sebanyak 13 kelompok budidaya dibentuk dan tersebar di beberapa Desa di Kecamatan Oba, Kecamatan Oba Selatan telah berhasil dibina.


Meski tak diperhatikan oleh Pemerintah Daerah, Bakri tetap mengembangkan usaha budidaya madunya dengan membina 13 kelompok yang tersebar di beberapa Desa, yakni empat kelompok di Kelurahan Payahe, tiga kelompok di desa Kusu, dan masing-masing satu kelompok di Desa Sigela Yef Desa Tuluy, Desa Nuku, Desa Sagutora, Desa Waring, serta Desa Tagalaya. Bahkan, di tahun 2018, Bakri akan membina empat kelompok baru yang dibantu langsung oleh Balai Kehutanan Ambon.


“Semua ini saya mulai sendiri dari pelatihan budidaya madu yang saya dapatkan di Makassar. Pulang ke sini (Payahe), langsung saya coba praktekkan. Dan alhamdulillah berhasil, Tapi sayangnya pemerintah daerah tidak perhatikan,” kata Bakri Hasan, selaku Perintis Budidaya Madu Trigona dan Koordinator Pembina Kelompok Budidaya, kepada malut.co pekan kemarin.



[caption id="attachment_3936" align="alignnone" width="448"] Ketua Kelompok Laikpangin, Desa Kusu, Kecamatan Oba, menunjukkan anakan lebah madu Trigona. (Foto : Firjal Usdek)[/caption]

Setelah melihat swadaya yang dilakukan Bakri berhasil memproduksi madu, Balai Kehutanan Ambon yang mengikutsertakan Bakri dalam pelatihan di Makassar langsung melakukan pendampingan. Upaya pendampingan itu dilakukan melalui sejumlah bantuan, yakni berupa dana pembinaan, alat pemotong kayu, alat untuk pengemas madu hasil Budidaya, dan botol kemasan.


“Saya mulai dibina oleh Balai Kehutanan Ambon Tahun 2016. Tapi itu setelah tiga kali panen. Jadi bantuan dari Balai Kehutanan Ambon turun setelah panen,” kata Bakri


Bantuan awalnya diberikan lewat kantor Balai Kehutanan yang ada di Payahe. Namun hal itu ditolak oleh Bakri, karena sejumlah oknum di Balai tersebut meminta bagian sebesar 50 persen atau Rp 15 juta dari bantuan senilai Rp 30 juta.


“Aneh saja dong tara bikin apa-apa tapi minta bagian. Saya tolak dan minta ke Balai Ambon untuk berikan itu langsung ke Kelompok. Alhumdullah, Balai Ambon setuju,” kata laki-laki yang hanya lulusan SMP itu.



[caption id="attachment_3917" align="aligncenter" width="448"] Bakri Hasan dan Ketua Kelompok Laikpangin, Desa Kusu memegang hasil panen (Foto : Firjal Usdek)[/caption]

Melalui rumah lebah madu dan kotak budidaya yang dibuat secara swadaya, Bakri berhasil memproduksi 40 botol Madu setiap bulan. Hasilnya dikirim ke balai Ambon, dengan harga Rp 200.000 per botol.


“Kalau musim panas panen bisa lebih banyak. Karena lebah lebih aktif mencari makan. Bisa panen tiap bulan kalau kotak lebahnya banyak. Makanan disini gampang, terutama bunga kelapa,” kata Bakri.


Menurut Bakri, semakin banyaknya jumlah kotak sarang lebah, maka jumlah panen madu akan semakin banyak. Setiap lebah induk membutuhkan sarang baru, sehingga ketersediaan sarang harus lebih banyak untuk menampung pemindahan anakan lebah.


“Jadi seharusnya Pemerintah daerah ikut membantu pengembangan budidaya madu yang kami lakukan ini. Jangan fokus ke kelapa genja yang belum tentu berhasil,” cetus Bakri.


Kelompok Lahipangin yang berada di desa Kusu misalnya, telah berhasil memanen madu sebanyak tiga kali, dengan jumlah produksi 50-60 botol setiap panen. Hasil panen itu masih diperoleh melalui kotak sarang Swadaya.


“Jadi setiap kelompok budidaya yang dibentuk harus dimulai dari swadaya sendiri. Setelah berhasil panen, Balai Kehutanan Ambon langsung berikan bantuan, sebesar Rp 38 juta,” kata Ketua Kelompok Lahipangin, Sadek (57).


Menurut Sadek, setiap pembuatan rumah lebah madu dengan kapasitas 75 kotak sarang memerlukan biaya sebesar Rp 30 juta. Setiap kotak sarang berukuran 15 meter x 40 meter. Sementara bibit madu dicari sendiri oleh anggota kelompok.


“Bibit di hutan banyak, terutama di pohon kelapa. Kalau musim panas bibit banyak jadi setiap kotak bisa menghasilkan 6 botol,” kata Sadek.


Keuntungan yang diperoleh melalui kotak sarang swadaya sudah mencapai Rp 10 juta -15 juta setiap kali panen. Sementara 75 kotak sarang yang dibangun dari bantuan Balai Kehutanan Ambon masih dalam proses pemindahan anakan lebah.


“Saya secara pribadi berterima kasih kepada bapak Bakri sebagai koorditor budidaya madu yang telah membina kami sehingga mengerakan budidaya madu menjadi salah satu mata pencaharian yang menjanjikan,” ucap Sadek.

Share:
Komentar

Terbaru