Heningan di Sonine Gurua

Editor: Taufik

 


[caption id="attachment_967" align="aligncenter" width="600"] Ngofa se dano soa romtoha (anak cucu lima marga) dalam upacara ake dango (mengantar air bambu) (Foto : Ramli/maltco)[/caption]

Prosesi adat Mengantar Ake Dango (Air Bambu)


 


Laporan: Ramly Tosofu


Editor : Rizkiansayh Yakub Djumadil


MINGGU malam 9 April 2017, Sonine Gurua (tanah lapang tempat ritual adat), Kelurahan Gurabunga, dihiasi gemerlap obor bak cahaya bintang malam diatas perbukitan.


Terenyuh suasana itu oleh para penyaksi, mulai dari pejabat Pemerintah Kota Tidore, tamu hingga jajaran Kesultanan Tidore saat Borero Gosimo (pesan pendahulu) disampaikan oleh Ngofa Sedano (anak cucu) Soa Romtoha (lima marga) yang diwakilkan kepada Ridwan Ibrahim dalam prosesi adat Ake Dango (Air Bambu).


Sonine Gurua yang diapik rumah penduduk negeri diatas awan sebutan untuk Kelurahan Gurabunga karena berada di tempat ketinggian adalah tempat Prosesi Adat Ake Dango (Air Bambu) digelar untuk mengawali agenda Festival Tidore dalam rangkaian Hari Jadi Tidore (HJT) ke 909 tahun 2017.


Heningan malam untuk para pendahulu pun berlangsung ketika Borero Gosimo (pesan pendahulu) didengungkan setelah Prosesi Kota Ake Dango (mengantarkan air bambu) dipersatukan Soa Romtoha (lima marga) oleh Ngofa se Dano (anak cucu) perwakilan Lima marga.


Suasana ritual adat berlangsung di tanah datar hijau Sonine Gurua, milik negeri penghuni para Sowohi ini bukan hanya menyaksikan wanita berkebaya perwakilan Ngofa Sedano (anak cucu) soa romtoha (lima marga) menyertakan nyala obor untuk mengantar Ake Dango dalam suasana gelap, tetapi suasana malam di bukit negeri di atas awan ini dipandang dari kejauhan bak wisata malam yang dipertontonkan panorama paling romantis.


Betapa tidak, prosesi mengantar air dari Ngofa Dano dilakukan bergiliran, setiap perwakilan Ngofa Sedano memegang empat obor, suasana gemerlap itu juga dihiasi nyala obor mengeilingi Sonine Gurua


Agenda awal festival Tidore ini dikenal dengan dowaro dan oro ake dango. Dowaro merupakan ritual ke puncak Kie Matubu untuk memohon leluhur dengan tujuan untuk jauh dari hambatan dalam melangsung semua gelar adat dalam HJT. Sedangkan oro ake dango merupakan pengambilan air yang dianggap suci dengan harapan generasi Tidore tetap terjaga dari bencana yang mengancam peradaban masa depan.


[caption id="attachment_973" align="aligncenter" width="600"] Prosesi Akedango (Foto : Ramly/malutco)[/caption]

Diatas lapangan Sonine Gurua air yang disatukan dalam bambu (Ake Dango), diletakan awal oleh kelompok ngofa se dano sang Sowohi Kie Matiti sebagai bambu induk yang sudah berisi air. Bambu tersebut diletakan dalam sebuah bilik kecil berdinding daun aren, kemudian air selanjutnya diantar dan disatukan oleh ngofa sedano dari marga lainnya.


Selanjutkan air yang didiamkan semalam di Sonine Gurua dengan dijaga oleh perwakilan lima marga yang bersenjatakan parang dan salawaku, penjagaan ini dilakukan demi keamanan agar Ake Dango tidak mendapat gangguan sampai keesok paginya.


Sebelum air diantarkan ke Kedato Kie atau setelah menyampaikan Gosimo Borero, berlangsung ritual Simore (semangat menyambut air) oleh masing masing sowohi, ditandai dengan tarian Salai Makutoti, tarian yang memperlihat perang menggunakan pedang dan salawaku, tarian ini memiliki personil sebanyak 30 orang.


Iringan tifa ikut mengantarkan rombongan Ngofa se Dano, pasukan kapita yang membawakan Ake Dango dan setibanya di Kadato Kie, Ake Dango diterima langsung oleh Jou Sultan Tidore, H. Husain Syah


Sultan Tidore kemudian menyerahkan Ake Dango ke salah seorang Bobato Adat Kesultanan dan kemudian Ake Dango dituangkan ke dalam hono (mangkok) putih dengan diberi 7 tangkai bunga gambir kemudian diletakan oleh Bobato Adat ke dalam Leo ake rau moi dan selanjutnya menjadi Aker au gabi, yang akan disimpan di dalam Kadato Kie untuk didoakan dalam prosesi Ratib Haddad Firraj pada malam hari nanti.


Walikota Tidore Kepulauan Capt. H. Ali Ibrahim, MH yang turut menyaksikan prosesi adat ini, disela-sela upacara pembukaan tersebut memberikan apresiasi atas digelarnya prosesi adat Ake Dango, sebagai bagian dari rangkaian adat kegiatan Festival Tidore Tahun 2017.


“Kegiatan ini penting dan patut mendapat dukungan semua pihak, karena terkait langsung dengan salah satu visi pemerintah daerah, yaitu : “Penguatan Pembanguna Sosial Dan Budaya Serta Nilai-Nilai Kearifan Lokal Sebagai Modal Sosial Untuk Mendorong Akselarasi Pembangunan,” tutur Ali.


Dukungan orang nomor satu Kota Tidore Kepulauan ini lebih pada seruan menghidupkan terus tradisi leluhur atau kearifan lokal Ake Dango hingga saat ini, masyarakat Tidore agar tetap mempertahankan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal daerah demi tercapainya pengembangan pariwisata berbasiskan kebudayaan, alam dan kearifan lokal.


Sementara Sri paduka yang mulai Sultan Tidore, H. Husain Syah menginginkan masyarakat Tidore bijaksana dalam menyikapi perbedaan, menjunjung tinggi toleransi, dan dapat membangun semangat persatuan. Insya Allah, jika kita bersatu, kita bekerja sama, dan bergotong royong, maka apa yang menjadi cita-cita bersama akan dapat diselesaikan.


Pemegang kendali ceremoni HJT ke-909, Yakub Husain pada kesempatan itu juga menyerukan agar pelaksanaan kegiatan ini dapat mendorong kekuatan budaya asli masyarakat lokal sebagai ruh sekaligus produk vital menjaga tradisi tetap dilaksanakan sebagaimana ritual aslinya.(##)


 

Share:
Komentar

Terbaru