SLB Tidore Kekurangan Guru

Editor: Taufik

Proses Belajar-mengajar tidak Maksimal


TIDORE, MALUT.CO Pendidikan yang berkualitas dalam sebuah sekolah, tentunya harus didukung dengan kapasitas dan jumlah guru yang memadai. Namun, tidak semua sekolah memiliki secara penuh dukungan itu. Seperti yang terjadi di Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) Negeri Tidore.


Ketiga sekolah untuk anak berkebutuhan khusus itu berada satu lingkungan di kelurahan Cobodoe, kecamatan Tidore Timur. Untuk SDLB didirakan sejak Tahun 1987, SMPLB didirikan pada Tahun 2008 dan SMALB baru dibuka pada 2011.


Kepala Sekolah SDLB, Jainab Hi. Fatah mengaku pihaknya masih kekurangan tenaga pengajar. Sejauh ini, SDLB memiliki 14 guru diantaranya 11 guru PNS dan 3 guru honorer dengan total jumlah siswa 40 orang yang terbagi dalam 5 kelas.


“Dalam satu ruangan kelas diharuskan ada 5 orang tenaga guru yang siap untuk memberikan pelajaran sesuai dengan jenis ketunaanya, yakni tunanetra, tunarungu/wicara, tunagrahita, tunadaksa dan autis,” kata Jainab yang didampingi kepala SMPLB, Maryani Hi. Tamrin kepada MALUT.CO di ruang kerjanya, Sabtu, 18 Maret 2017.


Lantaran kekurangan guru, pihak sekolah harus mempertahankan keberadaan 3 honorer meski tak memiliki spesifikasi Pendidikan Luar Biasa (PLB).


 


“Jadi 3 orang guru honor yang membantu di sekolah ini tidak bisa dilepaskan begitu saja walaupun mereka adalah guru dalam sertifikasi umum (PGSD),” tutur Jainab.


Untuk menjawab kekurangan itu, pihak SLB yang didukung Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Maluku Utara telah bekerja sama dengan Universitas Negeri Manado (UNIMA) untuk membuka kuliah kelas jauh bagi guru PLB.


“Setelah selesai langsung ditempatkan di SLB (SDLB, SMPLB dan SMALB) yang masih kekurangan tenaga pengajar,” kata Jainab.


Kekurangan guru khusus juga terjadi di SMPLB Negeri Tidore. Sekolah yang dipimpin Maryani itu memiliki 8 guru, diantaranya 4 guru PNS, namun hanya Maryani dan Hendro Wibowo yang memiliki sertifikasi PLB. Sementara 4 guru lainnya masih berstatus honorer dan merupakan guru sertifikasi umum.


“Guru di sini (SMPLB) sangat – sangat kurang,” kata Maryani.


Adapun jumlah siswa di SMPLB sebanyak 13 orang yang terbagi dalam tiga kategori, yakni tunarungu, tunadaksa dan tunagrahita. Tungrahita dibagi lagi menjadi dua yakni kategori ringan dan berat (donsindrom).


Akibat kekurangan guru khusus, proses belajar – mengajar di SMPLB tidak maksimal. Salah satu contoh ketika menghadapi siswa tunarungu, para guru harus mempunyai kemampuan bahasa isyarat.


“Kekurangan guru khusus ini membuat proses belajar terkendala,” akunya.


Menurutnya, rasio guru dan murid di SLB harus 1 guru khusus untuk 1 murid berkebutuhan khusus. “Rasio di SLB berbeda dengan di sekolah umum,” katanya.


Ditemui terpisah, kepala SMALB Negeri Tidore, Habiba Ali, S.Pd mengaku bila sekolahnya juga kekurangan guru PLB. Kata Habiba, sekolahnya hanya memiliki 5 guru diantaranya 2 guru PNS dan 3 guru honorer.


“Baru saya sendiri yang sebagai guru khusus,” ujar Habiba.


Siswa di SMALB berjumlah 13 orang yang dibagi atas 3 kelas. Diantaranya kelas X terdapat 3 siswa, 6 siswa di kelas XI dan 4 siswa di kelas XII.


“Pembagian kelas itu seharusnya berdasarkan ketunaan (difabelitas), namun kekurangan guru sehingga pembagian kelas sama dengan di sekolah umum,” ucapnya. (Ramli/ded)


 

Share:
Komentar

Terbaru