Istirahatlah Kata-Kata

Editor: Taufik


“Ternyata jadi buron itu jauh lebih menakutkan, daripada menghadapi sekompi kacang ijo bersenapan lengkap yang membubarkan demonstrasi.” (sepenggal kata-kata pada trailer film Istirahatlah Kata-Kata).

Menonton ulang seorang Widji Thukul, kita seperti dibawa pada sebuah masa yang di zaman Stalin disebut teror massa, ada kengerian yang amat sangat, bagaimana tidak orang-orang yang ingin membicarakan kebenaran malah dihilangkan. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan seorang istri, anak-anaknya yang sudah puluhan tahun tak tahu harus menziarahi kuburan ayah kemana? Nisannya tak pernah ditemukan. Lelaki berambut lusuh, pakaiannya jauh dari necis, kumal, dia bukan burung merak yang mempesona, tapi jika penyair dekil ini mulai membaca puisi ditengah-tengah demonstran, itu berarti lampu bahaya sedang dinyalakan. Jika tak segera dibendung, maka terbakarlah juba-juba kekuasaan seketika.

Widji Thukul, yang bernama asli Widji Widodo (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 Agustus 1963), adalah sastrawan dan aktivis hak asasi manusia berkebangsaan Indonesia. Tukul merupakan salah satu tokoh yang ikut melawan penindasan rezim Orde Baru. Thukul, begitu sapaan akrabnya adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia lahir dari keluarga Katolik dengan keadaan ekonomi sederhana. Ayahnya adalah seorang penarik becak, sementara ibunya terkadang menjual ayam bumbu untuk membantu perekonomian keluarga. Thukul Mulai menulis puisi sejak SD, dan tertarik pada dunia teater ketika duduk di bangku SMP. Bersama kelompok Teater Jagat, ia pernah ngamen puisi keluar masuk kampung dan kota. Sempat pula menyambung hidupnya dengan berjualan koran, jadi calo karcis bioskop, dan menjadi tukang pelitur di sebuah perusahaan mebel. Pada Oktober 1989, Thukul menikah dengan istrinya Siti Dyah Sujirah, alias Sipon. yang saat itu berprofesi sebagai buruh. Tak lama semenjak pernikahannya, Pasangan Thukul-Sipon dikaruniai anak pertama bernama Fitri Nganthi Wani, kemudian pada tanggal 22 Desember 1993 anak kedua mereka lahir yang diberi nama Fajar Merah

Seorang tuna wicara yang sanggup menghadiahkan ketakutan pada rezim kekuasaan zaman itu, benar-benar luar biasa. Membicarakan seorang Widji Thukul, kita sebenarnya mengingatkan pada dunia, pada bangsa ini, bahwa apapun alasannya, memisahkan seorang suami dari istrinya, seorang ayah dari anak-anaknya, adalah tindakan paling biadab yang pernah dilakukan di muka bumi ini. Dengan alasan apapun, kita dengan kekuasaan sebesar bagaimanapun tak pernah memilik hak memutuskan kehidupan seseorang. Kebenaran semakin dibunuh, semakin semakin hidup. Wiji Thukul dan orang-orang yang dihilangkan oleh rezim telah membuktikan itu. Suara-suara mereka yang pernah dibungkam dimasa lalu, perlahan tapi pasti terus bergema hingga hari ini. Seperti yang ditulis sendiri oleh Widji dalam puisi Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa. “Aku bukan artis pembuat berita, tapi aku memang selalu kabar buruk bagi penguasa.”

                “Kemerdekaan itu nasi

                  Dimakan jadi tai”

Puisi ini di tulis pada Agustus, 1982. Benar-benar syarat makna, Widji memiliki kemampuan pengelolaan makna dan membuat kata bisa berubah jadi peluru. Kemerdekaan sebagai mitos nasionalisme yang diagungkan dalam puisi Wiji di atas dihempaskan begitu saja dengan menggunakan rima antara nasi dan tai. Dua kata yang sangat dekat dengan tubuh sehari-hari ini ditarik dari jaraknya yang terlalu jauh antara kemerdekaan dan kenyataan. Usianya 34 tahun kala itu, Lelaki cadel yang tak pernah bisa melafalkan huruf “r” dengan sempurna, dianggap sangat berbahaya bagi kekuasaan saat itu. Agustus 1986, musim sedang basah, setelah pamit pada istrinya, petualangan sebagai buron pun dimulai, para jendral-jendral di Jakarta marah, karena menganggap puisi-puisinya menghasut para aktivis untu melawan pemerintah Orde baru. Tepatnya 27 Juli 1998, kerusuhan masih pecah di Ibukota, penyair Pelo ini tak lagi pernah pulang ke rumah, tak lagi pernah mendekap istri dan kedua anak-anaknya. Pahlawan kata-kata itu meninggal ditempat dan waktu yang tak diketahui.

Awalnya saya ingin menulis semacam resensi film, kebetulan juga hari ini di peringati sebagai Hari film Nasional. Entah bagaimana saya sangat ingin menulis tentang film Istirahatlah Kata-Kata, film ini sudah diputar di Locarno Intenational Film Festival ke-69 di Swiss, dan Busan International Film Festival ke-21. Di Indonesia film ini baru tayang tayang pada tanggal 19 januari 2017 kemarin di bisokop, tapi hanya beberapa bisokop, dan juga tak terlalu lama menginap di ruang teater biskop seperti film AADC 2. Tak juga heboh, berhubung karena di kota saya belum ada bioskop, jadi tak sempat menonton film hebat ini. Saya cobak cek di Youtube pun belum ada yang durasi full, hanya Trailernya saja. Maka jadilah saya menulis seorang Wiji Thukul dengan modal trailer berdurasi 1:45, tersebut. Tapi tak mengapa, setidaknya ingatan tentang penyair Pelo masih kuat, setiap membaca puisi puisinya, darah tetap mendidih.

Bagi saya sebuah film harus paham what it takes to be humane. Sehingga apapun yang kemudian dikontruksikan lewat visual bermakna layaknya puisi. Arahan yang luar biasa, penampilan penuh penghayatan, meyakinkan.  Bagaimana film diambil, adegan-adegan yang tercipta, film making yang seperti inilah yang dibutuhkan dunia perfilman yang sekarang makin condong ke pembagusan kemasan jualan saja, tapi miskin makna. Saya percaya walau belum nonton film ini seluruhnya, film ini pastilah melakukan pemberontakan, menghadirkan seorang Wiji Thukul adalah sebenar-benarnya perayaan bagi kaum tertindas karena pembela mereka tak pernah mati.

Film Istirahatlah Kata-Kata bukan sekedar bahasa sinematik visual semata, lebih dari itu menanamkan rasa keberanian. Dan dalam kapasitasnya sebagai media bercerita, film harus memastikan pesannya sampai ke semua lapisan : Kata-kata belum binasa.

Oleh : Ardiyansyah Fauji

(Penulis novel Doa Di Ujung Subuh & Sepenggal Kisah Anak Pedalaman Halmahera)
Share:
Komentar

Terbaru