'Perjalanan Ajaib' Sebuah Buku Bekas

Editor: Taufik

Usai menemui penyair yang buku kumpulan puisinya akan diterbitkan, editor itu mampir ke sebuah kios buku bekas. Ketika sedang melihat-lihat buku di rak, tiba-tiba ia menemukan Pangeran Kecil karya Antoine de Saint-Exupéry. Ingatannya langsung melayang ke masa silam. Ia ingat, waktu kecil dulu sudah berpuluh kali membacanya. Tapi, yang kemudian bikin ia tambah kaget, buku yang dipegangnya itu ternyata tak lain buku miliknya ketika kecil dulu. Ada jejak goresan-goresan tangannya, dan ada namanya di buku itu.

Ketika sang penjual menanyakan apakah dia akan membelinya, ia menjawab tidak. "Kalau terlalu mahal harganya bisa saya turunkan," kata si penjual.

"Bukan begitu, jika aku membeli buku ini berarti aku menjadi tujuan terakhir buku ini, tapi jika tetap di sini buku ini akan melalui banyak orang lagi, dan perjalannnya akan semakin panjang," kata yang editor cantik itu.

Tercenung oleh perkataan pengunjung tokonya, sang penjual buku pun jadi berpikir kembali tentang perjalanan yang dialami buku-buku yang menjadi dagangannya. Beberapa buku itu adalah hasil barter, beberapa lainnya dari kelarga yang mau pindah. Ada juga dari kolektor yang mengambil dari keluarga lain. Dari mana pun asalnya, mereka pasti telah melalui beberapa tangan dalam perjalannnya. Buku-buku itu berasal dari orang-orang kaya dan miskin, ibu rumah tangga dan pelajar; mereka telah dibaca di atas sofa nyaman, atau di bawah keteduhan pohon rindang, menyentuh hati orang-orang dan memberi harapan bagi yang lain. Berapa banyak tangan telah membolak-balik lembarannya, dan masih akan berapa tangan lagi setelahnya....

Di zaman digital sekarang ini, perjalanan sebuah buku bekas bisa jauh lebih dahsyat lagi daripada yang bisa dibayangkan oleh penjual buku, juga sang editor dalam kisah Perjalanan Ajaib dan Kisah-kisah Nyata Menyentuh Lainnya: Chicken Soup for the Soul Graphic Novel yang digambar oleh Kim Donghwa (terjemahan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, cetakan pertama April 2008). Mari kita bandingkan dengan kisah di bawah ini:

Pada 1988 seorang pendaki gunung Inggris bernama Joe Simpson menulis buku berjudul Touching the Void, sebuah cerita menegangkan tentang situasi antara hidup dan mati di Pegunungan Andes di Peru. Walaupun resensi buku ini bagus, penjualannya sedang-sedang saja, dan dalam waktu singkat dilupakan orang. Sepuluh tahun kemudian sesuatu yang aneh terjadi ketika seorang pendaki lain bernama John Krakauer merilis buku tragedi pendakian gunung serupa, berjudul Into Thin Air yang sukses besar. Apa sesuatu yang aneh itu? 'Touching the Void' ikut terdongkrak dan mulai terjual lagi, dicari orang lagi.

Toko-toko kemudian memajang lagi Touching the Void bersebalahan dengan Into Thin Air, dan penjualannya pun terus menanjak. Sebuah penerbit bahkan kemudian meluncurkan cetak ulang versi murahnya, yang bertahan 16 minggu di daftar buku laris New York Times. Pada pertengahan 2004, penjualan Touching the Void telah mengalahkan Into Thin Air, lebih dari dua kali lipat! Apa yang terjadi? Benarkah munculnya Into Thin Air telah memancing dan memanggil kembali Touching the Void? Jawabannya bukan pada buku itu sendiri, tapi cara penjualannya yang telah berubah. Ya, penjualan online!

Ketika Into Thin Air pertama kali diluncurkan, beberapa pembaca menulis resensi di Amazon.com yang menunjukkan kemiripan dengan Touching the Void, sekaligus membuat perbandingan dengan menyebutkan bahwa buku tersebut sebenarnya lebih bagus. Orang-ornag yang membaca resensi itu tertarik untuk memasukkan buku tersebut ke keranjang belanja. Perilaku pembeli ini terbaca oleh Amazon yang kemudian memberikan rekomendasi, "pembaca yang membeli Into Thin Air juga membeli Touching the Void, dan menganjurkan pembelian buku tersebut sebagai satu paket.

Orang menerima anjuran dan rekomendasi itu, merasa setuju, lalu menuliskan resensi-resensi yang lebih banyak lagi atau komentar mengenai buku-buku itu. Patut dicatat, ketika buku Kraukeur muncul, stok buku Simpson sudah hampir habis. Satu dasawarsa yang lalu pembaca Krauker tidak akan pernah tahu soal buku Simpson, dan kalau pun tahu akan sulit menemukannya. Namun, penjualan online mengubah situasi tersebut. Dengan memadukan ruang pajang yang tak terbatas dan informasi real-time tentang tren belanja, serta komentar masyarakat konsumen, maka terciptalah fenomena Touching the Void. Menurut Chris Anderson dalam buku The Long Tail, yang terjadi dalam hal ini adalah meningkatnya kebutuhan atas buku yang nyaris tak dipedulikan orang. Dan, itu terjadi 10 tahun yang lalu.

Kini, perkembangannya sudah lebih gila. Ribuan bahkan jutaan buku lama yang sudah tertimbun waktu berhamburan kembali tak hanya lewat toko-toko "resmi" seperti Amazon, melainkan lewat blog, akun-akun Facebook pribadi, Twitter, Instagram, dan forum-forum diskusi. Jejaring-jejaring digital di internet telah mempertemukan para penjual buku dengan kolektor, atau orang-orang yang membutuhkannya. Para penjual buku itu sendiri sebenarnya adalah kolektor juga, yang melihat peluang. Mereka memiliki persediaan buku lebih dari satu untuk setiap judul, lalu menjualnya. Namun, tentu saja, tak sedikit pula yang telah menjadikan jualan buku secara online sebagai sumber mata pencaharian utama, bukan sekedar sampingan atau iseng-iseng berhadiah pengisi waktu luang.

Berbagai kemungkinan itu berujung pada satu hal: bahwa daya hidup sebuah buku menjadi lebih panjang dari yang mungkin terjadi sebelumnya. Buku-buku bekas, yang mungkin pinggirannya sudah "gripis" atau sampulnya memudar, kini memiliki "ekor panjang" yang ajaib, yang telah memberinya nilai ekonomi lebih dari yang bisa diduga. Bahkan, berkat penjualan online, buku-buku lama itu kini memiliki nilai ekonomi yang kadang jauh lebih tinggi dibanding harga "asli"-nya ketika pertama kali diluncurkan dahulu. Buku-buku telah melampuai kemampuan fisiknya untuk bertahan, lahir kembali dalam sebuah pasar yang tak ada habisnya.

Share:
Komentar

Terbaru