OTSUS dan "Naturalisme" Politik

Editor: Redaksi

Wawan Ilyas
(Pegiat PILAS dan PUSMAT)
Diskursus politik lokal kembali ditaburi dengan tuntutan Otonomi Khusus (Otsus) Maluku Utara (Malut). Tidak salah dalam tuntutan seperti ini, ada alasan telah saya catat, termasuk yang paling sering dinarasikan: Sumbangsih Moloku Kie Raha atas sejarah pembentukan NKRI.

Ada romantisme sejarah di sana, maka seorang pejabat legislatif yang baru dilantik mengatakan; "Otsus harga mati". Pejabat kekinian sukanya begitu, sedikit-sedikit harga mati, sedikit-sedikit harga mati. Ada juga serius menyuarakan, bahwa anggaran pusat harus dikucurkan ke daerah supaya tercipta keadilan ekonomi dan politik di seputaran "Dunia" Timur.

Di bawah langit Maluku, saya membaca wacana Otsus sebagai penegasan "tuan-tuan," bahwa masalah utama daerah ini ternyata bukanlah mentalitas politik yang jujur, padahal kejujuran mentalitas sangatlah diperlukan bagi proses berbangsa dan bernegara.

Begitu kelihatan tidak ada praktek politik dan pembangunan yang jauh lebih dibutuhkan selain memperjuangkan Otsus. Haruskah trending politik ini diterima secara taken for granted? saya akan membedah wacana elit tersebut sebagai praktek Naturalisme politik.

Asumsi Naturalisme

Naturalisme bukanlah gagasan baru dan sesungguhnya dapat diterjemahkan ke dalam sejarah politik dan pembangunan Indonesia. Intelektual Jerman, Karl Popper (dalam Kleden, 2001), membuka penafsiran bahwa ide naturalisme pada dasar asumsinya mengaitkan perkembangan masyarakat dan keadilan sosial sebagai hasil alamiah, tanpa campur tangan dan perencanaan manusia secara sadar dan terukur.

Kompendium naturalisme memercayai tirai keadilan dan kesejahteraan akan terbuka secara alamiah, bila logika pertumbuhan dinomorsatukan. Cukup dengan perencanaan pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi (atau dengan kucuran anggaran Otsus), maka keadilan dan kesetaraan dengan mudah tumbuh. Kritik Popperian selanjutnya memupuk kekhawatiran atas gagasan naturalisme karena sangatlah berbahaya secara praktis bagi perkembangan sosial-politik suatu bangsa.

Hari-hari ini, kecenderungan "elit" Malut menerapkan logika di atas begitu mengental. Seolah-olah dengan sendirinya masalah di Malut segera tuntas ketika pertumbuhan ekonomi dinilai bagus, atau ketika Otsus disetujui pemerintah pusat. Nampaknya, politik elit lokal terpenjara dalam labirin naturalisme politik.

Padahal, altar sejarah modern sesungghnya telah mengajarkan kita bahwa Orde Baru, bahkan proses reformasi adalah tatanan yang cukup lengkap dan jelas memberikan pelajaran, tentang betapa besarnya daya merusak kehidupan sosial politik di dalam asumsi dan gerakan naturalisme.

Menengok Pengalaman

Kenyataan ketidakadilan dalam sejarah politik tercermin lewat otoritarianisme Orde Baru, yang digilas dengan gerakan reformasi 98 sebagai momen dibukakannya pintu demokratisasi dan kebebasan berpendapat. Akan tetapi, jika menilik lebih dalam, justru reformasi juga melahirkan sikap naturalistis yang tidak kalah berbahayanya dari tatanan sebelumnya.

Ilmuan sosial Indonesia, Ignas Kleden, mengamati konteks naturalisme dalam politik Indonesia, dimana gerakan reformasi menjatuhkan Soeharto dengan harapan: Setelah Soeharto jatuh, masalah bangsa dan kecakapan berwarganegara lebih dapat berkembang dengan tumbuhnya demokratisasi. Namun harapan itu seperti menaruh api dalam sekam, karena kejatuhan Soeharto dan hari-hari sesudahnya penuh dengan darah dan air mata.

Cita-cita keadilan malah menemui jalan kekerasan komunal yang "disebarkan" melalui struktur kesempatan politik (political opportunity structure) pasca reformasi. Maka kejatuhan Soeharto juga sebagai gerbang masuk bagi elit nasional sampai lokal ke dalam ruang konspirasi politik.

Kala Gus Dur memimpin, Indonesia punya masalah bangsa yang belum juga berakhir. Lalu, bendera naturalisme kembali dikibarkan berupa desakan parlemen supaya Gus Dur turun dari jabatan presiden (atau memang dijatuhkan lewat konspirasi politik di parlemen). Seakan-akan Gus Dur adalah manusia yang menyebabkan munculnya problem kebangsaan di Indonesia.

Tumbuh kebiasaan politik Indonesia jika muncul masalah sosial-politik, maka solusinya melengserkan pemimpin dari kekuasaan, atau melakukan perubahan tertentu secara formal sekedar mengisi adminsitrasi negara, bukan duduk bersama menentukan jalan keluar membicarakan hal-hal yang lebih prinsip dan mendasar.

Di sini, seolah-olah dengan mengangkat satu pengakuan atas gerakan politik praktis di daerah, masalah pembangunan berbangsa dan bernegara akan segera lenyap secara alamiah dari bumi Pertiwi. Di provinsi Malut, desakan mengadakan Otsus seakan-akan mengonfirmasikan kecenderungan perubahan formalitas (Otsus) akan menghasilkan kesejahteraan dan problem provinsi dapat ditekan.

Praktek politik senantiasa berpatokan pada asumsi-asumsi tak terukur, bahwa dengan tiadanya Soeharto, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dapat teratasi. Bahwa menjatuhkan Gus Dur menghasilkan kepemimpinan nasional jauh lebih demokratis. Harapan macam ini tidak menyelesaikan masalah bangsa dalam kenyataan alamiahnya di Indonesia sampai sekarang di tahun 2019.

Kenyataannya, korupsi justru makin mengakar sampai di tingkat desa hari ini, masalah intoleransi bereproduksi di sepanjang masa demokratisasi. Oligarki semakin menancapkan taring kekuasaan kepada masyarakat. Dan jauh lebih merusak, gejala otoritarianisme tumbuh subur, mengontrol pikiran dan mengancam  rakyat. Naturalisme politik makin bermasalah karena menciptakan proses kewarganegaraan di bawah struktur ekonomi politik yang menutupi akses keadilan sosial, meskipun telah ada otonomi daerah (perubahan administrasi) dengan UU No. 32 Tahun 2004.

Melampaui Naturalisme Politik

Tetapi problem di atas bukanlah mengharuskan kita secara politik mengadakan tuntutan Otsus. Bagaimana jika Otsus pun tidak dapat menjawab permasalahan dasar di Malut? Apakah ada desain baru selain Otsus nanti? Jika pertanyaan terkait boleh diajukan, Papua, Aceh dan DIY menjadi contoh dalam tuntutan Otsus Malut? Kita butuh diskusi panjang lebar tentang ini.

Kebutuhan kita sekarang adalah merubah mentalitas, atau membicarakan masalah kebudayaan, bukan kebutuhan "anggaran" dari pusat itu. Atau apakah wacana Otsus adalah tuntutan untuk "diakui" eksistensi kesejarahan daerah ini? Tetapi apa gunanya pengakuan itu diberikan namun tak ada perubahan mentalitas di kalangan elit politik dan dalam cara mengelola birokrasi yang buruk selama ini?

Kampanye Otsus secara tak langsung mengajarkan masyarakat percaya bahwa hal terpenting dalam proses pembangunan adalah ganti-ganti nomenklatur tertentu, atau sekadar menerima Otsus dengan gembira sebagai bentuk pengakuan negara. Padahal, ada urusan mendasar jauh lebih penting: Apa kabar praktek korupsi di Malut? Tidak pentingkah elit politik singkirkan dulu "mental korup" di daerah ini?

Jangan sampai Otsus menyediakan anggaran pusat tetapi sekaligus membuka kemungkinan bagi tumbuh kembangnya mentalitas korupsi, nepotisme, dan oligarki di daerah. Karena terdapat fakta yang tak dapat disangkal kalau struktur kesempatan politik (political opportunity structure) di daerah telah banyak menyediakan ruang korupsi di era reformasi.

Maka, otsus bukanlah harga mati, tetapi apa kesiapannya setelah tuntutan politik diterima. Menurut Ignas Kleden (2001), itulah watak politik yang sering sekali terjadi di Indonesia: gemar dalam mencopot-copot jabatan atau mengganti-gantikan nomenklatur tertentu, namun tanpa mengikutsertakan penguatan kelembagaan dan struktur sosial politik secara baik dan teratur. Sehingga kecenderungannya setelah ada perubahan secara formal, melahirkan harus ada perubahan secara formal juga di kemudian hari.

Pendeknya, proses politik dan hukum semata terjadi dalam lingkaran perubahan formalitas tanpa perubahan mentalitas yang berakibat jauh dari konteks sosiologis. Saya kasih contoh satu lagi, sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi terkait pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat (perubahan formalitas) sejak 2012, tetapi tidak sama sekali diikutsertakan dengan mentalitas penerapannya secara jujur di Malut.

Betapa mentalitas kita mengelola birokrasi dan kebijakan politik masih sangat jauh dari kata jujur, disiplin dan rasional. Betapa kondisi lingkungan Malut begitu parah akibat kolaborasi elit politik dan pengusaha kelas wahid di sektor tambang. Mentalitas kita ambruk pada level paling dasar, rakus dan memalukan. Tidak pentingkah ini disuarakan daripada Otsus? Sepanjang elit Malut terjebak dalam naturalisme politik sebagaimana tuntutan formal Otsus, saya percaya kemungkinan, kesejahteraan hanya dirasakan  pejabat, dan masyarakat tetap "diwajibkan" untuk tertib bernegara.
Share:
Komentar

Terbaru