Suasana upacara bendera puluhan santri di laut Kamis (17/8/2017)(KOMPAS.com/Mansur) |
Indy Hardono
Pemerhati pendidikan
Saat ini bergiat sebagai koordinator tim beasiswa pada Netherlands Education Support Office di Jakarta. Sebelumnya, penulis pernah menjadi Programme Coordinator di ASEAN Foundation
Perjalanan bangsa ini sudah cukup panjang,
bahkan jauh sebelum tahun 1945. Flag off ekspedisi kebangsaan
kita, bisa jadi, sudah diawali oleh Mahapatih Gadjah Mada yang dengan Sumpah
Palapa bercita-cita menyatukan Nusantara.
Gadjah Mada memang tidak menggunakan nama
Indonesia. Tapi, jiwa kebangsaan sudah diusungnya dengan kata Nusantara. Lalu,
gelombang kedua ekspedisi berlanjut pada 1908, yaitu saat para pelajar Stovia
dengan lantang menyerukan bahwa perjuangan fisik harus disertai dengan
perjuangan pemikiran.
Pada momentum itu Budi Oetomo lahir
dengan tag line kebangkitan nasional yang berlandaskan budi
yang utama, yakni nilai-nilai, perilaku dan budi pekerti.
Dus, Semua ekspedisi tersebut kemudian
dirangkum oleh Soekarno dan Hatta dalam naskah proklamasi. Proklamasi menjadi
jangkar bagi semua ekspedisi ratusan tahun sebelumnya dan menjadi titik
tolak perjalanan bangsa ke depannya, di tanah harapan bernama NKRI.
Mengapa Proklamasi?
Hanya 29 kata yang ada dalam teks proklamasi. Namun,
29 kata tersebut sangat powerfull menyiratkan sebuah
determinasi, keberanian, kecermatan, dan ketaktisan.
Keberanian menyatakan kedaulatan bukanlah hal mudah.
Namun, itulah yang dilakukan oleh para bapak bangsa yang lugas tanpa
bertele-tele. Itulah kiranya resultante dan titik kulminasi
perjuangan dan pengorbanan selama ratusan tahun. Bisa dikatakan, 29 kata
tersebut telah membangkitkan kesadaran bahwa inilah saatnya kita menentukan
nasib dan langkah kita sendiri secara bersama-sama. Inilah kesadaran berbangsa.
Lalu, mengapa Soekarno dan Hatta
memilih kata 'proklamasi'?
Amerika Serikat menggunakan kata
Declaration of Independence. Pun, Malaysia memakai istilah deklarasi pada
saat handover dari Inggris.
Dalam bahasa latin, kata proclamare mengandung
makna 'teriakan keras". Di dalamnya terdapat unsur gairah, agresifitas,
dan semangat, tidak seperti deklarasi yang lebih bermakna sebuah pernyataan.
Proklamasi yang dilakukan duet
"founding fathers" itu adalah jawaban dari hasrat dan jeritan ratusan
tahun dari Aceh sampai Banda Neira. Proklamasi menyatukan hasrat merdeka dari
Cut Nya Dien, hasrat kebebasan Kartini, dan hasrat mendobrak para pemuda di
Kramat Raya 106 pada 28 Oktober 1928. Proklamasi adalah bersatu padunya jiwa
dan raga bangsa ini.
Nurani
kebangsaan
Namun, setelah 72 tahun, mari kita tafakur
sejenak. Berapa banyak rakyat yang masih dizolimi oleh keadilan? Berapa banyak
anak muda yang mati bukan di medan pertempuran dengan di merah putih di dada,
namun mati sia-sia dengan suntikan di tangan? Tidakkah hati kita hancur
mengetahui bahwa tingkat penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang di
Indonesia sudah sangat memilukan? Bahkan, Indonesia ditasbihkan sebagai negara
teratas dalam urusan transaksi narkotika di kawasan ASEAN (sumber: Badan
Narkotika Nasional, 2015).
Maka, mari kita berdiam diri dan
bertafakur. Betapa rindunya kita kepada kepada Bung Hatta, yang terpaksa hanya
makan roti keras bercampur keju di penjara di negeri penjajah, namun dengan
gigih dia tetap menulis pledoi vrij Indonesie dan mengirim
pesan kebangsaan ke Tanah air. Di sisi lain, mirisnya, kini kita melihat para
badut politik sibuk mencari panggung di berbagai media.
Betapa rindunya kita kepada Panglima Besar
Jenderal Soedirman. Sang panglima tentara nasional, yang dengan napas tersengal
akibat panyakit parunya, harus ditandu ke luar masuk hutan untuk memimpin
gerilya paling patriotik dalam sejarah negeri ini. Sementara kini, kini kita
disuguhkan tontonan segala kepongahan para pemimpin dan wakil rakyat di
berbagai media, yang dengan sadar membohongi sekaligus membodohi rakyatnya.
Tidak rindukah kita dengan sosok Mar’ie
Muhammad dan Baharudin Lopa, terutama ketika kita menyaksikan makin banyaknya
pejabat negara yang memakai "rompi oranye" dengan tetap tersenyum
keluar-masuk gedung KPK?
Tak rindukah kita, ketika saat ini kejujuran
justru dianggap suatu kenaifan, dan sebaliknya kebohongan serta kecurangan
adalah suatu keniscayaan
Betapa rindunya kita kepada Jong Java,
Jong Celebes, Jong Sumatra yang dengan rupa dan kulit berbeda melantangkan
Sumpah Pemuda yang menggelegar itu, ketika kini kita lebih sering mendengar
hujatan dan cercaan penuh kebencian kepada sesama pemuda.
Betapa rindunya kita kepada Sutan Syahrir,
sang demokrat sejati, yang rela tersingkirkan, sementara kini dengan miris kita
melihat negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini menggadaikan demokrasi di
lobi-lobi politik dan forum-forum kepentingan.
Mari kita bertafakur! Mengapa kini kita
lebih senang untuk saling tuding dan hujat, saling curiga, saling menghakimi,
dan saling hantam? Ke mana perginya nilai-nilai musyawarah dan mufakat, di mana
nilai-nilai tepa salira, apa kabar prinsip rawe rawe rantas
malang-malang putung, dan ke mana larinya semangat Ampera yang dulu
menggetarkan itu, ke mana perginya ikrar kebhinekaan, ke mana semangat juang ala
arek-arek Suroboyo, ke mana teriakan merdeka ataoe mati?
Mari kita diam dan bertafakur. Mengapa
kini kita menjadi bangsa yang pucat, kering kerontang, kurang gizi, seperti
tidak berjiwa? Kaya raga, namun miskin jiwa. Kita bukan hanya kehilangan jiwa
kebangsaan, tapi juga sudah kehilangan nurani kebangsaan! Inilah kita
sekarang...
Nurani "generasi emas"
Semua bangsa dijalankan oleh-Nya. Seperti
halnya Nabi Ibrahim dan Musa yang menuju tanah harapan, kita pun
"diperjalankan" oleh yang Maha Kuasa. Telah sampaikah kita kepada
tanah yang dijanjikan itu?
Dalam setiap pendakian ke puncak gunung ,
sebaiknya kita tidak perlu membawa bekal yang terlalu banyak, cukup air putih,
pisang dan sebatang coklat. Tak perlu membawa kepentingan golongan, ras dan
agama. Kita hanya perlu membawa amanat penderitaan rakyat, Pancasila dan
semangat kebangsaan.
Ya, di dalamnya sudah terdapat nutrisi
lengkap yang akan membawa kita berlari dan melesat menuju puncak, dan
menancapkan bendera sebagai menjadi bangsa yang sejahtera, unggul dan
bermartabat.
Kini, 28 tahun menjelang peringatan 100
tahun kemerdekaan pada 2045 nanti, ada baiknya
kita pupuk dan hidupkan lagi nurani kebangsaan sebagai bekal yang dulu
diberikan oleh nenek moyang kita kepada jiwa generasi penerusnya. Karena
merekalah yang akan duduk di cokpit pesawat pada tahun emas
kita.
Tanpa itu, puncak bonus demografi di 2030
dengan kurang lebih 70 juta jumlah penduduk produktif hanya akan menjadi mannequin cantik
dengan make up tebal dan senyum artifisial, namun
"mati"! Kita akan menjadi bangsa yang kering kerontang, dan
terengah-engah mencapai cita-cita proklamasi yang semakin kabur dari pandangan.
Itulah karenanya, pendidikan menjadi sentral, bukan hanya
pendidikan berbasis kognitif, namun juga pendidikan kebangsaan. Pendidikan yang dapat membangkitkan,
menanamkan , menginfiltrasikan rasa, kecintaan dan kebanggaan pada negeri.
Pendidikan kita bukanlah pendidikan yang tidak
mematikan nurani. Pendidikan yang mengedepankan nilai, bukan yang hanya
pendidikan mengejar keberhasilan fisik dan materi.
Pendidikan yang memastikan bahwa tolak
ukur keberhasilannya bukan hanya dari jumlah sarjana, atau doktor.
Keberhasilannya adalah jika suatu saat Komisi Anti-Korupsi dibubarkan, karena
negara ini tidak membutuhkannya lagi, jika kita telah berdaulat penuh terhadap
ikan-ikan di lautan kita dan berdaulat penuh terhadap garis pantai terpanjang
di dunia yang kita miliki, jika Tanjung Priok dapat menjadi pelabuhan terbesar,
termodern dan terefisien di dunia,mengalahkan Rotterdam dan Singapura.
Kita butuh bendidikan yang memastikan
bahwa di setiap jiwa anak didiknya terdengar sayup namun pasti, suara kecil
yang berbisik: Indonesia!
Selamat memaknai Hari Kemerdekaan. Dirgahayu Nusantara, Dirgahayu
Indonesia.
Sumber : Kompas.com