Ramadhan dan Double Rainbow Berjodoh Tanah Para Sultan

Editor: Taufik
[caption id="attachment_2055" align="aligncenter" width="600"] Ardiansyah Fauzi[/caption]

Oleh : Ardiansyah Fauzi
Novelis


"Kau tak akan pernah menemukan pelangi jika kau menunduk." Charlie Cahpin. Aktor, komika, produsen dari Britania Raya.


Sayup-sayup adzan ashar berkumandang, langit sore di tanah para Sultan begitu cerah, Ramadhan hari pertama cukup menenangkan. Orang-orang tampak sibuk mendatangi mesjid, betapa Ramadhan sanggup meringangkan semua langkah. Sementara di tempat lain, sebagian mama mama penjual takjil buka puasa mulai menggelar jualannya, pemandangan yang tak biasanya, wajah mereka ceria, berharap datang rejeki dari hasil keringat mereka yang mungkin sebagian mama mama itu, telah mulai bangun dan menyiapkan segala bahan-bahannya sejak matahari di timur belum pecah.


Ini ramadhan hari pertama, biasanya akan sangat banyak pengunjung, biasanya akan sangat ramai. Begitulah harapan, akan selalu lahir dan tumbuh pada setiap manusia yang mau berusaha.


Selepas ashar, sebagian jemaah masih khusyu menghadap Sang Sepi, barangkali ada yang sudah lama tak menghadap sekhusyu ini, termasuk diriku. Larut dalam dzikir, larut dalam kekhilafan-khilafan dimasa yang lalu. Tak terhingga syukur padaMu, karena kami masih dipertemukan dengan bulan yang penuh kemuliaan ini, bulan penuh pengampunan. Ribuan, bahkan jutaan orang setiap tahunnya selalu berharap, akan bertemu dengan bulan nan agung ini, namun tak semua orang berkesempatan sama bertemu Ramadhan seperti yang kita jalani hari ini. Maka pantaslah kita mengucap syukur padaMu Yaa Rabb.


Pukul 17.00, wit. Jalanan kota para Sultan yang biasanya lengan, tampak mulai ramai, orang dewasa, para remaja, dan anak-anak tampak memenuhi jalanan, mereka sedang berburu takjil, sebagiannya lagi mungkin hanya sedang ngabuburit. Ramadhan memang mampu menghidupkan segalanya, bahkan bagi kota mati sekalipun.


Puncak kie Matubu sore itu bersih, tak ada awan yang menyelimuti. Orang berjualan kue sana sini, hampir disetiap sudut jalanan. Sambil memanggil datang para pembeli, wajah-wajah penjual kue itu tampak mengulum senyum yang khas. "Ada cinta di sepotong pisang coe, atau ada rindu yang tersimpan rapat-rapat dalam onde-onde!" Barangkali itu makna senyum manis mereka.


[caption id="attachment_2056" align="aligncenter" width="600"] Suasana Alam pada 1 Ramadhan di Pantai Ito Gapura, Tidore | Foto M. Ikbal Ohorella[/caption]

"Mari sini Bang, mumpung kue nya masih panas!" Mama - mama itu memanggil.


Masih panas? Ini sudah sore. Apakah Itu berarti beliau baru saja mengangkat kue itu dari kompor, atau maksud panasnya hanya semacam metafora saja? Iblis dalam diri memang selalu panas jika tuannya serius berpuasa. Bukankah arti kata Ramadhan adalah membakar? Mungkin saja itu maksud sesunggunya mama penjual kue tadi.


Kupacu mobil dengan kecepatan sedang, sambil menikmati angin dan senja yang sejuk. Dari pantai Tugulufa memandang ke seberang laut, tampak memanjang pulau Halmahera, tanah harapan bagi kebanyakan penyamun asing (investor). Sejak kecil, saat mulai mengenal huruf, aku sudah sering mendengar dongen, bahwa Halmahera adalah raksasa yang tidur. Kala itu, cukup ngeri mendengarnya. Bagaimana kalau raksasa itu bangun? Bagaimana kalau saat bangun aku sedang sendiri bermain di laut? Bagaimana kalau raksasa itu bangun dan menangkapku, dan menyimpan dalam hutan belantara? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu mengganggu masa kecilku. Kemudian aku tahu, bahwa di dalam perut raksasa tidur itu, tidur juga bermacam-macam barang berharga, emas, nickle, batubara, belum lagi hutan dan lautnya yang menyimpan kekayaan melimpah.


[caption id="attachment_2064" align="aligncenter" width="600"] Suasana Alam pada 1 Ramadhan di Pantai Ito Gapura, Tidore | Foto M. Ikbal Ohorella[/caption]

Halmahera menuju petang sedang basah kuyup dibeberapa bagian, dibagian yang lain terlihat benderang. Perlahan lengkung spektrum warna di langit, yang tampak karena pembiasan sinar matahari oleh titik-titik hujan mulai tegas terlihat. Ada putri yang sedang turun mandi, begitulah kata nenek, ketika aku meneriaki pelangi yang datang. Dan sampai sekarang aku percaya saja, pelangi adalah putri yang hidup di kerajaan langit dan sedang turun mandi. Sungguh mempesona, bias warna dan gerimis yang turun diseberang begitu harmonis. Maha karya Illahi di Ramadhan hari pertama yang sungguh begitu manis dinikmati.


Dua Bianglala di langit para Sultan petang tadi semacam perjodohan yang baik, memberi pesan pada kita semua; Bahwa sehabis badai, akan datang keindahan. Setiap kita yang mampu bertahan dalam sebuah kesukaran, akan bertemu kenikmatan diakhir nanti. Begitu pula mereka yang berjuang dalam bulan Ramadhan, janji Allah SWT pasti untuk setiap mereka yang keluar sebagai pemenang di bulan penuh berkah ini. Adalah pengampunan, kembali ke titik awal kehidupan, fitri seumpama bayi yang baru melewati rahim mama mama tersayang.


Semoga kita semua mendapat keberkahan Ramadhan, Syukur Yaa Rabb, KAU hadiahkah sesuatu yang sangat megah pada kami di hari pertama bulan suci Ramadhan.


1 Ramadhan 1438 H
Sabtu, 27 Mei 2017

Share:
Komentar

Terbaru