Surat Kepada Iqbal Djoge dan Udin Marasaoly

Editor: Redaksi
Penulis : Dr. SYAIFUL BAHRI RURAY. SH. M.Si

Catatan 24 Tahun Provinsi Maluku Utara

Tulisan ringan ini, sengaja saya beri judul Surat Kepada Iqbal Djoge dan Udin Marasaoly, sebagai apresiasi atas kedua sahabat saya ini, karena tanpa pertemuan dengan keduanya yang telah mendahului kita, mungkin cerita Provinsi Maluku Utara, hanyalah menjadi sebuah catatan kegagalan dan cerita tragedi masa lalu belaka. Bahkan bisa jadi luput dari memori kolektif generasi Maluku Utara kini.  Berawal pada Oktober 1998, Iqbal dan Udin, menelusuri seantero kota Ternate, setelah menerima faksimile dari Kantor Gubernur Maluku di Ambon, yang berisi permintaan pokok-pokok pikiran untuk Gubernur Maluku, yang akan dibawakan pada Sidang Istimewa MPR-RI pada 10 November 1998. Iqbal dan Udin, dengan motor bebek merah, ditengah terik mentari, telah bertemu beberapa orang, baik birokrat maupun akademisi, namun sulit menemukan orang yang bersedia. Karena situasi pada 1998, dimana momentum politik nasional sedang memanas baik dipusat kekuasaan maupun di daerah-daerah di Indonesia. Soeharto baru saja turun tahta, dan B.J. Habibie tengah bergelut dengan berbagai isyu politik dan ekonomi, sebagai bagian dari reformasi yang tengah bergulir dengan kencangnya. Ekonomi nasional sangat terpuruk akibat dari krisis moneter global, membawa dampak pada runtuhnya kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun tersebut. Nyaris pada setiap daerah di Indonesia, terjadi suasan chaos, dan konflik horisontal, termasuk di Maluku dan Maluku Utara. Situasi ini, membuat semua orang pada meraba-raba kemana arah perjalanan bangsa dalam peralihan dan transisi tersebut. Itulah yang membuat Iqbal dan Udin, mengeluh ke saya, mereka berdua telah menemui beberapa senior, namun semua enggan berpendapat secara terbuka dalam sebuah forum resmi, sebagaimana permintaan isi faksimile dari Gubernur Maluku tersebut. Lalu sayapun didaulat Iqbal dan Udin untuk harus berbicara dalam forum tersebut. Iqbal dan Udin sendiri adalah staff pada BAPPEDA Kabupaten Maluku Utara saat itu, yang diketuai Drs. Ibrahim Conoras, pada periode Bupati Kolonel Abdullah Assagaf. 

Dalam percakapan singkat kami bertiga, di sebuah sudut Kalumpang, Iqbalpun menunjukkan kertas faksimile dari Ambon kepada saya, yang telah sedikit lecet, karena ditenteng seharian kemana-mana, untuk mencari siapa gerangan sebagai pembicara nanti, guna mengisi pokok-pokok pikiran Maluku Utara untuk diajukan ke Gubernur Maluku Drs. M. Akib Latuconsina. Faksimile tersebut, seingat saya dikirim dan ditandatangani langsung oleh Kepala BAPPEDA Maluku, Dr.Ir. M. Saleh Latuconsina, M.Eng.

Kami bertiga sepakat, setelah berbincang sebentar, bahwa situasi politik dan ekonomi yang sementara tak menentu seperti 1998 tersebut, harus ada tiga perspektif, pemerintahan, ekonomi dan politik. Disepakatilah bahwa Syamsir Andili mewakili birokrasi pemerintahan, Hasanuddin MD selaku Dekan Fakultas Ekonomi Unkhair, mewakili akademisi untuk berbicara ekonomi, dan saya di daulat berbicara dimensi politiknya. Namun saya mengajukan sebuah tantangan kepada Udin dan Iqbal, bahwa bagaimana jika saya berbicara tentang pembentukan Provinsi Maluku, sebagai nilai tukar reformasi. Daripada reformasi hanya berisi saling hujat dan memaki antara sesama anak bangsa, bagaimana jika energi besar dalam momentum ini, kita fokuskan pada sesuatu yang lebih besar. Mereka berduapun sepakat, dan menurut saya mereka sepakatpun karena telah kecapean setelah kemana-mana mencari pembicara sebagai narasumber. Forum tersebutpun kemudian digelar dilantai tiga Kantor Bupati Maluku Utara pada tanggal 27 Oktober 1998. Forum dihadiri oleh para birokrat senior Pemda Kabupaten Maluku Utara dan Anggota DPRD Kabupaten Maluku Utara (Periode 1997-1999). Forum dibuka oleh Bupati Kolonel Abdullah Assagaf. Saya menulis makalah singkat dengan judul Menuju Provinsi Maluku Utara, Sebuah Upaya Menyikapi Reformasi Politik.  Singkat cerita, tulisan tersebut, juga saya kirimkan ke Redaksi Tabloid Ternate Post yang sore itu tiba di Ternate dari percetakannya di Manado. Tulisan tersebut dijadikan editorial dengan judul yang sama, pada cover depan, halaman satu pojok kiri.

Gagasan menindak lanjuti perjuangan Provinsi Maluku Utara, setelah kegagalan berbuah tragedi pada masa lalu tersebut, memang membutuhkan pendekatan baru yang lebih komprehensif untuk mewujudkannya. Dari lantai tiga itulah kemudian gagasan bergulir, menjadi isyu bersama, yang didukung oleh segenap komponen masyarakat Maluku Utara.

Nah, tak terasa setelah 24 tahun berlalu kini, apakah perubahan dan kesejahteraan yang didambakan telah tercapai di Maluku Utara? Memang pertanyaan ini menjadi *_a big question mark_* pada setiap Oktober menjelang HUT Provinsi Maluku Utara. Karena merujuk laporan BPS, masih ada kawasan-kawasan miskin ditengah kemelimpah-ruahan sumber daya alam Maluku Utara. Agenda lain adalah kejelasan status Ibukota Sofifi yang tak kunjung jelas. Merujuk pendapat Dr. Ir. M. Saleh Latuconsina, Ketua BAPPEDA Maluku yang kemudian menjadi Gubernur Maluku, tidak menyetujui ibukota Maluku Utara di Sofifi karena beberapa alasan geologis dan topografis. Pak Saleh Latuconsina backgroundnya adalah seorang planolog lulusan Perancis. Memang dalam catatan awal dan draft undang-undang yang kami ajukan, ibukota diusulkan di Sidangoli-Jailolo atau Kao-Malifut. Ada juga pertimbangan akademis dari tim UGM (Prof. Purwo Santoso, MA, Prof. Dr. Cornelis Lay, MA Dkk), juga Tim UNHAS (Prof.Dr. Ir. Roland Barkey, MSc), yang kurang sependapat. Namun keputusan politik dari pusat terlanjur menetapkan Sofifi sebagai ibukota. Agenda status Sofifi, dan kesejahteraan rakyat, ekologi dan infrastruktur wilayah yang masih timpang, kualitas pendidikan dan kesehatan, masihlah menjadi tantangan yang belum terjawab sepenuhnya hingga usia 24 tahun Maluku Utara kini. Beberapa kali insiden demonstrasi penata laksana jasa kesehatan RSUD Dr. Chasan Boesoeirie, adalah satu catatan yang membuktikan akan hal ini. Juga infrastruktur pulau-pulau, seperti Taliabu, Hiri, Moti, Batang Dua, yang masih membutuhkan keseriusan untuk dibangun dengan layak. Walaupun kita dininabobokan dengan angka pertumbuhan 27% dan kawasan terbahagia seindonesia.

Daron Acemoglu dan Simon Johnson (2023) dalam “Power and Progress: Our 1000-Year Struggle Over Technology & Prosperity” mengingatkan akan inovasi dan teknologi itu tidak otomatis membawa kemakmuran bersama, jika kita tidak tepat memilih kekuatan untuk mengarahkannya, bahkan bisa sebaliknya memperkuat oligarki dan memperluas kesenjangan.  Walaupun demikian, Maluku Utara, sebagaimana halnya Indonesia pada umumnya, butuh keberlanjutan pembangunan yang bertransformasi dari ekonomi ekstraktif berbasis bahan mentah, menuju ekonomi pengetahuan berbasis teknologi. Karena sumber daya alampun semakin terbatas, tersisa 9 hingga 15 tahun lagi akan habis jika dieksploitasi secara masif. Optimisme teknologi dan kemajuannya memang menjadi sebuah keniscayaan tak terelakkan untuk meningkatkan produktivitas. Narasi kualitatif, berupa legislasi parlemen dan kebijakan pemerintah, harus berorientasi solusi. Untuk itu perlu dibentuk dan dibangun gerakan komunitas progresif, agar dapat menjadi norma yang memandu kita untuk keluar dari lingkaran oligarki dan hegemoni, dengan memanfaatkan kemajuan perkembangan teknologi untuk menuju kemaslahatan bersama. Bahwa dunia diluar sana, sedang tidak baik-baik saja saat ini. Transformasi dan disrupsi besar sedang berlangsung ditengah konflik asimetrik dan fenomena alam berupa _global boiling_, bukan lagi _global warming_, yang semakin nyata hadir di depan mata kita. Peter Zeihan (2022) mengatakan bahwa perkembangan globalisasi dalam beberapa dekade dipicu oleh kepentingan Amerika Serikat untuk melumpuhkan Uni Soviet selama perang dingin, dengan menawarkan bantuan keamanan, investasi, finansial dan pasar global, serta infra struktur teknologi dimana dolar memainkan peran sangat sentral seiring merebaknya globalisasi tersebut. Namun dengan berakhirnya globalisasi tersebut, pendulum sejarah akan berbalik arah menuju _de-globalisasi_ dan _de-dolarisasi_. Artinya globalisasi tengah kolaps. Dan peran global mulai diambil alih oleh kekuatan multi polar dimana China menjadi naga besar yang tengah membentangkan OBOR (One Belt One Road) dan BRI (Belt Road Initiative) dewasa ini, untuk membangun konektivitas mata rantai pasokan industri manufaktur dan jalur perdagangan global dengan mengedepankan _the modern silk road_ sebagai tema utamanya. Halmana turut merambah hingga kawasan Maluku Utara.

Bahwa 24 tahun usia Provinsi Maluku Utara, mestinya menjadi momentum untuk introspeksi dan evaluasi atas progres apa yang telah kita capai selama ini, bukan lagi sekedar sebuah seremonial rutin untuk merayakan masa lalu belaka.

Artinya, apresiasi terhadap Iqbal dan Udin, atas todongan mereka berdua, belumlah juga selesai ditangani secara baik oleh anak negeri ini. Tulisan pendek ini, sengaja diperuntukkan untuk kedua sahabat saya Almarhum Iqbal dan Udin. Dalam benak saya, seandainya tanpa mereka berdua, jelas Provinsi Maluku Utara mungkin tak ada dalam peta Indonesia.

Semoga kedua almarhum mendapat tempat yang layak disisi Allah SWT. 

Amin….

Syukur dofu-dofu.

Ternate, 11 Oktober 2023.

Daftar Pustaka:

1. Daron Acemoglu & Simon Johnson. _Power and Progress. Our Thousand-Year Struggle over Technology and Prosperity._ Public Affairs, New York, 2023.

2. Peter Zeihan. _The End of the World just the Beginning. Mapping the Collapse of Globalization._ Harper Business, NY, 2022.

3. Syaiful Bahri Ruray. _Menjemput Perubahan, Sepotong Interupsi Untuk Maluku Utara._ Pustaka FosHal & Kalamata Institute, 2007.

4. Syaiful Bahri Ruray. _Tanggung Jawab Hukum Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan & Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup._ Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2012.

Share:
Komentar

Terbaru