Peningkatan Kemampuan FORSPAR |
Materi pelatihan difokuskan pada penguatan serta peningkatan kapasitas kader dan pengurus Forum mengenai pendampingan serta penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Sebagai langkah penguatan pelatihan, Forspar menghadirkan penggagas Forum Studi Halmahera (Foshal) Malut, Rahmi Husen sebagai fasilitator.
Dalam diskusi yang berlangsung selama 8 jam itu, melahirkan berbagai gagasan maupun ide. Selain menghitung Kekuatan, tantangan maupun harapan Forspar Malut, Forum juga merumuskan langkah-langkah dalam penanganan kasus.
Menurut Rahmi Husen, Forspar Malut merupakan laboratorium perempuan di Maluku Utara yang hadir ditengah-tengah krisis moral terhadap hak-hak perempuan maupun anak.
Sementara Direktur Forspar Malut, Hadinda Usman menyampaikan, forum ini lahir atas dasar kegelisahan bersama tentang dirampasnya hak-hak perempuan maupun anak yang terjadi di Maluku Utara.
"Banyak kasus pelecehan seksual maupun pencabulan terhadap anak di bawah umur yang terjadi di Maluku Utara yang melatar belakangi terbentuknya forum ini," ujarnya.
Lebih lanjut, Hadinda mengungkapkan, peningkatan kapasitas anggota forum adalah bentuk strategi Forspar Malut dalam menghadapi program yang akan dilakukan.
"Selain pendampingan terhadap kasus kekerasan perempuan dan anak, Fospar juga akan konsen dengan upaya-upaya pencegahan, untuk itu penguatan kapasitas ini penting di lakukan," tutupnya.
Sementara itu, Menurut Pegiat Women's march, Toety Ariela, kekerasaan seksual terhadap anak dan perempuan di Maluku Utara yang kian meningkat perlu disikapi dengan langkah preventif dengan membuat Peraturan Daerah (Perda) terhadap perlindungan perempuan dan anak.
“Di hilirnya, harus ada pendidikan seks sejak dini. Dalam arti bahwa sejak dini anak diajarkan bagaimana mengenal tubuhnya,” kata Toety.
Dua kasus yang dirilis media hari ini di Ternate dan Morotai, tambah Toety, menempatkan korban sebagai objek.
Toety menilai, pemeberitaan di media akhir-akhir ini menjadi salah satu sumber infomasi bagi para calon pelaku kekerasaan seksual.
“Pilihan diksi dan narasi seharusnya lebih pada himbauan edukatif, bukan lagi memaparkan kronologis yang membuat pembaca berfantasi. Dengan headline dan narasi seperti itu, menjadi referensi bagi para pelaku,” ucapnya.
(Ir)