Durian Masou, Tradisi Masyarakat Afa-Afa Tidore di Musim Panen

Editor: Redaksi
Tradisi Masyarakat Afa-Afa Tidore di Musim Panen
Senin 19 Agustus 2019, setiap rumah di Kelurahan Afa-afa, Lingkungan Tomayou, Tidore Utara, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara diminta membawa dua buah durian ke rumah Sowohi. Daun seho (aren), kulit pinang, dibawah warga untuk pelaksanaan ritual Durian Masou.

“Bahan-bahan ini akan disajikan dalam acara ritual tersebut," kata Jufri Ismail, warga Lingkungan Afa-Afa Tomayou, kepada Malut.id di Tidore, Selasa 20 Agustus 2019. Ia menuturkan, ritual ini dicetuskan pertama kali oleh seorang Fomanyira (setingkat lurah) yang ke - 7, yaitu Nyira Baba Habu

"Ini berdasarkan keterangan dari tokoh adat setempat," katanya.

Ritual Durian Masou merupakan sebuah ritual adat sebagai wujud rasa syukur masyarakat Afa-Afa, atas kelimpahan rezeki yang dianugerahkan sang maha kuasa. Ritual tersebut dilaksanakan selama dua hari, Senin 19- Selasa 20 Agustus 2019

Ritual yang dimulai dari rumah Sowohi atau kepala adat ini, melibatkan para tokoh adat, imam, serta masyarakat setempat. "Ritual ini hanya dilakukan saat memasuki musim panen," katanya.

Pada hari kedua, seluruh masyarakat memadati rumah Sowohi sejak pagi hingga sore hari, untuk mempersiapkan segala keperluan dari serangkaian kegiatan. Seperti pembuatan Pandanga Oti Juanga atau perahu besar dan pembuatan Tifa Gururu.

"Sekaligus membersihkan makam Kubu Lamo atau makam para leluhur," tutur Jufri.

Memasuki malam hari, sejumlah warga membuat tempat sesaji dalam bentuk perahu juanga atau pandanga berbahan daun seho.

Warga menyajikan buah durian  lengkap dengan sesajen ke dalam sembilan juanga atau Sio Toamdou. Sembilan sesanjen itu melambangkan penghormatan kepada leluhur.

"Ini sebagai wujud rasa syukur terhadap leluhur masyarakat Afa-Afa yang berjumlah sembilan orang atau menyebut Den Sio," jelasnya.

Dalam prosesi ini, juga berisi Ngam Sio atau penyajian sembilan makanan disertai doa, lalu diiringi tarian Soya-soya dengan menabu Tifa Gururu. Para penari mengelilingi Pandanga Oti Juanga. Bersamaan dengan itu, para orang tua yang terdiri dari pihak laki-laki dan perempuan, mendendangkan Moro-moro Jiko Range.

"Ini (Moro-moro Jiko Range) adalah kalimat sastra palinf halus sebagai bentuk ungkapan rasa syukur terhadap sembilan orang leluhur tersebut. Di dalamnya ada doa dan bacaan mantra berupa sumpah adat, yang dibaca di dalam juanga. Tujuannya agar dalam menjalani kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu berpegang teguh pada adat dan aturan," jelasnya.

Bersamaan dengan prosesi itu, pembacaan doa juga berlangsung di rumah Sowohi. Hal ini sebagai wujud rasa syukur atas hasil panen yang diperoleh. Doa pun dilakukan secara bergiliran. Seperti, doa untuk leluhur dipimpin langsung oleh ketua adat. Lalu dipimpin oleh imam masjid kelurahan setempat. "Prosesi ini disebut Sio Tomadoya," katanya.

"Ritual ini menunjukan bahwa seluruh komponen masyarakat Afa-Afa terdiri dari sembilan orang leluhur. Mereka disebut Den Sio atau sembilan makam. Menurut kepercayaan di sini, keberadaan mereka sebelum kehadiran agama Islam," katanya.

Ismail memaparkan, Den atau disebut Ten, berarti peletakkan. Ini adalah tempat pemakaman jenazah sebelum masuknya Islam.

"Jadi setiap orang yang meninggal, hanya diletakan di sebuah tempat yang agak tinggi dari tanah. Tidak dikubur," tuturnya.

Sementara, tokoh adat masyarakat Afa-Afa, Amir Hamisi, mengingatkan, sebagai anak cucu kita wajib menjaga tradisi ini. Apalagi ini sudah berlangsung lama dan turun-temurun.

"Makanya setiap masuk musim panen, kita selalu bikin. Ini berangkat dari pesan leluhur kami, yaitu Fo Eli se Jaga Gosimo Nadodia. Artinya, tetap menjaga para leluhur punya masa lalu," tutupnya.

Ols
Share:
Komentar

Terbaru