Jadikan Kongres Sebagai Titik Balik Kebangkitan HMI

Editor: Redaksi
Fikri Suadu | Foto Istimewa

Meski diguyur hujan deras, semangat untuk menuntaskan dan menyelesaikan tugas mewawancarai para kandidat tetap dilakukan. Termasuk saat menemui kandidat yang juga alumni Universitas Sam Ratulangi Manado ini pada sebuah Cafe di sekitaran Tebet Jakarta Selatan. Menurut kandidat yang akrab disapa dengan panggilan Pak Dokter ini, ada tiga modalitas penting yang harus dimiliki oleh figure pemimpin HMI ke depan. Pertama, ia harus lahir dari kultur budaya yang tidak homogen. Kedua, ia harus mendapat dukungan arus utama dari Keluarga Besar HMI. Ketiga, figur tersebut haruslah beyond state. Seperti apa penjelasan lengkapnya? Simak perbincangan lengkap yang disadur melalui majalah kongres, M.Taufik, bersama dengan kandidat yang juga Direktur Bakornas LKMI Periode 2013-2015 ini.

Apa motivasi abang sehingga maju dalam kon-testasi kongres ke XXX di Ambon ?

Saya ingin bercerita terlebih dahulu. Sekitar dua bulan lalu, secara tidak sengaja saya terkoneksi dengan Internasional Institute of Islamic Thought, sebuah lembaga pemikiran Islam Internasional yang kantor perwakilannya hadir di setiap negara. Dulu koordinatornya mas Dawam Rahardjo. Saat ini, koordinator lembaga tersebut di Indonesia, Bapak Muhammad Siddiq. Singkat cerita, dia mendapatkan buku saya yang berjudul ‘Manusia Unggul, Neurosains dan Al-Qur’an’. Lembaga ini sekarang sedang focus dan menggiatkan kajian-kajian tentang episte-mologi Islam sebagai sebuah metode untuk mencari peng-petahuan. Makanya buku saya dijadikan sebagai salah satu sumber untuk mendapatkan variasi dari ilmu pengeta-huan di bidang neurosains. Nah, pada suatu waktu, saya diajak dan didaulat untuk menjadi narasumber pada forum Doktor dan Profesor di Universitas Syiah Kuala Aceh. Dalam forum tersebut, saya dipanel dengan salah satu Syekh dari Mesir yansudah setahun lebih ada di Indonesia. Sye-ikh tersebut berbicara soal filsafat Ilmu da-lam konteks umum, sedangkan saya berbbic-ara soal epistemologi Islam dalam prespektif neurosains. Pada malam harinya setelah panel diskusi itu, saya makan malam dengan Sek-retaris Jenderal IIIT Dunia. Kebetulan ia seo-rang professor, alumni Universitas Harvard, Profesor. Dr. Omar Hasan Kasule. Pada saat makan malam, ternyata dia tahu soal HMI. Dia bilang kalau sudah lama kenal HMI, dan dia bilang “HMI is good. HMI bagus. Ok. Kami akan support buku kamu. Secara resmi kami akan menerbitkan buku kamu”. Jadi mereka menjadi sponsor soal pembiayaan, dan pen-erbitnya saya pakai penerbitnya Bang Alfan Alfian. Sambil lalu saya dikasih ruang ke Yor-dania untuk memperdalam kajian epistimolo-gi Islam di bidang ilmu neurosains. Rencanan-ya bulan Mei 2018 ini saya berangkat. Kenapa ke Yordan? Karena disitu kaidah bahasa Ar-ab-nya bagus. Bahasa Inggrisnya juga bagus. Setahun dua tahun di Yordan, di Prancis, baru kemudian kita masuk ke Eropa dan Amerika. Jadi mereka sangat mendorong saya di jarin-gan mereka. 

Bagi saya ini adalah satu motivasi yang positif. Apalagi HMI Dipo pada khususnya, sejak periode Cak Nur, hamper tidak ada lagi yang masuk ke wilayah ini. Sebulan terakhir, saya kembali dihubungi bicara soal alih ba-hasa buku dan mereka bilang ingin men-drop isi buku ini ke centre-centre mereka di luar In-donesia. Rencananya, tanggal 15 dan 16 ke-marin rencananya saya diajak ke Malaysia un-tuk membawa buku ini untuk dipresentasikan ke relasi-relasi mereka di beberapa negara terutama dari Uni Emirat Arab. Sejauh itu saya menganggap dorongan mereka positif bagi saya secara personal. Singkat cerita, pada perbincangan malam itu beliau bertanya,“Bagaimana Fik menyatukan soal HMI Dipo dan MPO?”. Saya pun kemudian menjawab “Oh iya pak. Kebetulan keduanya sebentar lagi akan berkongres. Dipo di Ambon, sedangkan MPO di Sorong”. Kemudian beliau bertanya balik pada saya,”mengapa kamu nggak maju?”. 

Maka mulailah beliau berbicara soal latar belakang sejarah, pemikiran islam, bagaimana positioning HMI, terus tokoh-tokoh yang intens menjadi tamu internasional salah sat-unya adalah Cak Nur. Setelah itu mereka bil-ang : “Kalau kamu maju, secara personal kita sudah menerima. Tapi kalau kamu terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI, secara institusi ini akan punya dampak. HMI MPO bisa punya jalinan silaturahmi di kalangan muslim muda intelektual Internasional, dan ini memang satu point penting. Coba kamu pertimbangkan”. Akhirnya saya mempertimbangkan itu selama kurang lebih satu minggu. Kemudian saya bertemu beliau lagi. Dan dengan mengu-cap bismillah saya maju karena pertimbangan itu tadi. Tentu tidak hanya pertimbangan itu. Pertimbangan lainnya adalah adanya kondisi kenegaraan yang mengundang keprihatinan semua orang bahwa ada kesan Negara seolah-olah berhadap-hadapan dengan Islam politik. 

Nah, inikan tentu butuh solusi. HMI harus berperan menjembatani sekat prasang-ka dan lain-lain itu. Untuk bisa menjadi pili-han jalan tengah tentu tidak sebatas narasi atau tidak sebatas konsep, karena narasi dan konsep itu butuh figure. Butuh actor. Itulah teori aktor. Dalam teori aktor itu ada modalitas-modalitas yang harus dimiliki seorang figure atau seorang tokoh yang bisa men-jembatani komunikasi yang sarat prasangka antara Islam politik dan Negara. Kesannya begitu.

Bagaimana caranya agar kedua kutub yang berhadap-hadapan ini tidak saling berbenturan?

Supaya tidak mengarah pada konflik, maka HMI harus tampil. Tentu tampilnya HMI tidak hanya dengan gagasan, narasi, dan jalan tengah atau apalah itu namanya. Butuh figur yang punya tiga modalitas penting. Tiga modalitas penting itu yang pertama, figure ini lahir dari kultur budaya yang tidak homogen tapi harus majemuk. Sehingga pengetahuan dia tidak hanya dalam konteks pemikiran atau konsep. Tapi dia mengalami secara langsung sehingga pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman secara langsung itu punya daya yang lebih luas dan besar dar-ipada hanya konsep yang tidak didasarkan pada pengalaman. Sehingga dalam menjem-batani dua kutub kekuatan ini, dia paham harus melangkah kemana dan menghubun-gi siapa karena dia sudah mengalami secara langsung. Kedua, di samping dia lahir dari latar belakang yang majemuk itu, tentunya dia harus mendapatkan dukungan dari arus utama keluarga besar HMI. Saya mau mengidentifikasi arus utama ini, yaitu tiga generasi di atas tahun 1999 dan tiga generasi di bawah tahun 1997-1999. Kelompok inilah arus utama hari ini. Siapap-un nanti yang menjadi ketua umum PB HMI terpilih, ke depan ia harus merepresentasikan atau mengalami keterlibatan emosional den-gan generasi-generasi ini. Tujuannya apa? tujuannya adalah agar supaya sikap-sikap dan kebijakan yang berkaitan dengan orientasi PB HMI di ruang public itu mendapat dukungan dari keluarga besar HMI. Tanpa mendapatkan dukungan, kita tidak akan punya dampak di publik. Jadi surat edaran PB HMI akan kering, tidak akan punya daya dorong kalau arus utama ini tidak terlibat. Makanya penting kongres ke depan melahirkan sosok atau figure yang terlibat dengat arus utama keluarga besar HMI ini. 

Modalitas ketiga, dia harus beyond state. Dia harus di atas negara. Beyond state itu masyarakat dunia. Dalam artian, figure Ketua Umum PB HMI ke depan itu harus terkonek-si dengan jaringan dunia Islam Internasional. Contoh pertama kita lihat Ust. Bahtiar Nasir dan Anies Baswedan. Tokoh-tokoh ini di saat ada gejolak di ruang publik yang menyerang secara personal, ada reaksi dari masyarakat Islam Internasional. Ini sangat penting. Sehingga negara tidak serta merta semena-mena memperlakukan mereka karena mereka bagian dari masyarakat dunia. Nah, inilah yang dikatakan oleh Al-Gore sebagai global mind. Dalam masyarakat global yang terkoneksi seperti saat ini, peradaban sedang mengarah ke satu imperium tunggal. Ketika bicara soal imperium, maka konteks negara bangsa itu tidak ada lagi. Jadi Jakarta kira-kira nanti seperti Sulawesi Utara diatur lewat Jakarta. Maka Ketua Umum PB HMI ke depan, tidak hanya berorientasi negara melainkan harus bagian dari masyarakat Internasional. Jadi ketika dia mengkomunikasikan kepentingan umat dengan negara, ia memiliki nilai tawar yang tinggi dan PB HMI bisa duduk dalam posisi setara dengan negara dalam menegosiasikan apa yang menjadi kepentingan umat. Karena secara emosional HMI itu harus terlibat dengan ummat. Tapi dalam konteks strategis, pilihan-pilihan strategis ke depan, HMI harus menjembatani apa yang menjadi orientasi para penyelenggara negara ke depan. Dalam kontek ini jika coba diperankan secara mak-simal oleh PB HMI dengan figure yang tepat maka PB HMI akan punya nilai tawar. Terakhir, figur ke depan harus punya gagasan yang matang, visi yang kuat dan karakter yang kokoh agar supaya tidak mudah ditarik kiri-kanan dalam menghadapi konteks di tahun 2019.

Lalu apa visi yang abang usung?

Kita masih transformasi. Kenapa transformasi? Pertama, ada beberapa istilah yang dipegang sebagai rujukan untuk mendiskripsikan tentang perubahan. Ada revolusi. Tapi ini sangat ekstrim. Kedua, kita melakukan refor-masi. Reformasi dalam kon-teks negara bangsa hari ini gagal. Dan ternyata apa yang menjadi semangat besar reformasi itu masih sangat berhubungan dengan apa yang kita lakukan hari ini. Di samping itu, reformasi cenderung masuk pada wilayah melabeli satu generasi tanpa ada kata maaf. Semua yang dicap bagian dari Orde Baru tidak dimaafkan dalam reformasi. Dan ini bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Kalau kita ambil restorasi, ini sudah Nasdem Kena kita. Itu tidak mungkin. Maka bagi saya, masih ada satu bahasa lagi, yaitu transformasi. Transformasi itu transfer. Orang masih bisa berubah. Orang yang salah dia masih bisa memperbaiki diri terutama memperbaiki Himpunan.

Bagaimana misi dari Transformasi?

Pertama, transformasi dalam aspek human capital, sumber daya manusia. Di situlah titik berat perkaderan kita arahkan.Penguatan perkaderannya berorientasi pada pengembangan skill dan kompetensi. Untuk skill dan kompetensi maka metode-nya harus jelas, basisnya harus riset. Kedua, information capital. Ini juga sangat penting karena era hari ada-lah era informasi. Informasi ini telah berubah banyak hal termasuk dalam konteks gerakan. Ke depan, kita in-gin serius dalam wilayah ini yaitu PB HMI punya sistem selain database tapi juga punya sistem informasi yang mumpuni. Kita akan dorong bagaimana penguasaan PB HMI di lingkungan sosial media, baik itu facebook, twit-ter, instagram dan lainnya. Karena dalam banyak contoh bisa menggerakkan publik secara signifikan. Tinggal kita pikirkan konteks dan kon-tennya seperti apa sehingga public mau terlibat. Kita ada sekitar 211 cabang dan kalau per-cabang kita punya 3 akun ada 600 akun, semuan-ya 600 akun mulai twiter, Fb, youtube dan lain sebagainya. Sehingga ide-ide yang disampaikan oleh pengurus maupun pihak lain yang kita anggap sejalan itu bisa vi-ral, juga isu-isu yang di perjuangkan oleh teman-teman cabang mulai dari korupsi daerah dan lain sebagainya itu secara pasti bias menjadi isu nasional karena dikelola secara serius.

Apa program unggulan abang seandainya abang diamanahi oleh peserta kongres untuk menahkodai HMI ke depan ?

Pertama, tentu perkaderan. Kita akan riset besar-besaran sampai di tingkat komis-ariat. Kita harus punya potret dasar terkait itu. Karena mustahil kita mau merubah sesuatu jika pilihan kita su-dah salah atau dalam ketika menangkap sebuah realitas, itu keliru. Maka dari itu kita akan melakukan pembenahan dan kontrol besar-besaran dari mulai BPL, Balitbang, PA, atau lainnya. Kedua, dalam merespons kondisi eksternal, PB HMI harus menyiapkan satu rumusan naskah akademis yang serius yang melibatkan guru-guru besar yang ada di HMI. Nantinya, naskah akademis itu kemudian bisa didiskusikan dengan rektor-rektor di masing-masing universitas ternama. Ketum PB HMI ke depan harus mengambil peran kesana. Karena salah satu indicator perubahan sosial di ruang-ruang public itu karena ada statement dari figure yang punya otoritas. Hal buruk jika dikatakan baik oleh seorang professor atau doctor, maka akan menjadi baik Ketiga, seminar internasional PB HMI dengan lembaga pemikiran islam internasional dan kampus-kampus di luar negeri. Kita akan dorong. Kita akan arahkan kesana terkait kon-teks demokrasi dan kebang-saan hari ini. Begitu pula soal relasi umat dan negara. Tarafnya harus kita naikkan sehingga PB HMI punya peran-peran yang signifikan. Itu pertama. Yang kedua, agar bisa mendorong secara terukur wacana atau gagasan dan cita-cita tentang HMI di luar negeri. Itu beberapa program unggulan kita ke depan. 

Bagaimana dengan indikasi keterlibatan abang di partai politik ? 

Pertama, benar bahwa saya pernah menjadi Sekretaris Jenderal Generasi Muda MKGR tahun 2016. Tapi itu bukan partai politik yang di bawah underbownya Partai Golkar. Kita MKGR Ormas yang Ketua Umumnya bukanlah Fahd Arafiq. Bukan itu. Melainkan Ketua Umumnya Letnan Jenderal Suyono. Yang jelas ini organisasi masyarakat yang tidak berafeliasi dengan partai politik mana-pun. Makanya pada saat saya diminta, saya pun memper-tanyakan status organisasiini ke depan apa, pada saat disampaikan bahwa itu adalah ormas (kita punya doku-mennya, punya foto pelanti-kannya siapa yang melantik), ya ini ormas. Dan bagi saya, saya tidak meresponsnya karena memang tidak be-nar. Saya tidak mau mengh-abiskan energi untuk hal-hal yang tidak benar. Ini ormas. Clear! Bukan partai politik.

Terakhir apa pesan abang untuk peserta kon-gres nanti ?

Pesan saya pada seluruh peserta kongres mari kita ja-dikan kongres ini titik balik kebangkitan HMI. Tentu untuk bisa melakukan sebuah titik balik butuh pengorbanan. Dan pengorbanan ti-dak ada yang nyaman. Di sini tantangan kita sebagai kader. Berani beradaptasi dengan ketidaknyamanan untuk melakukan sesuatu. Tentu ada tawaran-tawaran yang pragmatis di lapangan serta fasilitas-fasilitas lainnya yang ditawarkan. Bagi saya itu tidak HMI banget dan bukan kultur budaya mahasiswa. Makanya mari kita jadikan kongres ini sebagai momentum titik balik. Kita berkorban. Kita patungan. Sama-sama cabang patungan. Jangan bebankan kandidat. Ayo kita mulai. Saya kira masih ada cabang yang mau sehingga ikhtiaruntuk melakukan perubahan itu ada bentuknya. 

Kedua, dalam konteks apapun, saya men-yadari bahwa gagasan, visi dan misi mempu-nyai dampak yang kecil dalam mempengaruhi pilihan. Pilihan masyarakat awam itu dikontrol oleh sentimen-sentimen yang sifatnya emosional. Tapi sekali lagi saya masih percaya bahwa HMI itu bukan masyarakat awam. Namun, kita ini masyarakat kritis di tengah kerumunan masyarakat awam. Marilah kita menggunakan nalar kita. Kita gunakan pikiran kita untuk melakukan traiking setiap kandidat. Itu perta-ma. Kedua, kita melakukan traiking setiap gagasan. Sehingga ke depan, forum kongres itu betul-betul bisa sesuai dengan apa yang disuarakan oleh seluruh kelompok atau keluarga besar HMI, yaitu melahirkan kualitas yang ter-ukur sesuai dengan apa yang dicita-citakan. Harus diakui, hari ini, kita tidak bisa menutup mata, bahwa banyak kekuatan-kekuatan yang orientasnya ingin membajak Himpunan ini ke depan. Dan instrument yang paling bisa dimasukin adalah menggunakan ketidakmam-puan pengurus cabang untuk mengatasi ketidaknyamanan. Dikasih uang. Dikasih fasilitas. Kongres tidak sesederhana itu.

Terakhir, mari kita jaga kondusifitas. Apapun hasil kongres, ayo kita kawal. Ayo kita maknai dan kita terima inilah ternyata kondisi objektif HMI hari ini. Seperti apa potret kepemimpinan yang akan di lahirkan ke depan, kira-kira tidak akan jauh menggambarkan kondisi anggota yang ada di dalamnya. Makanya kalau kita masih mau mengklaim diri sebagai masyarakat aktivis yang kritis dan objektif dan lain sebagainya, mari kita bera-du dalam forum kongres untuk melahirkan pemimpin yang betul-betul kritis, objektif, independent yang bisa melahirkan harapan tidak hanya bagi keluarga besar HMI, tapi juga bagi umat dan bangsa.

Red
Share:
Komentar

Terbaru